Rabu, 29 Juni 2011

KEPERCAYAAN DALAM WADI’AH DAN HIWALAH

KAJIAN PUSTAKA
2.1.1. Pengertian Wadi’ah
Kontrak dalam tradisi fiqih menggunakan akad wadi’ah. Wadi’ah dilihat dari segi bahasa berarti meninggalkan atau meletakkan, atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara. Sedangkan menurut istilah Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. atau (العقد لحفظ الشئ المودع )”akad untuk menjaga sesuatu yang dititpkan.
Definisi wadi’ah menurut para fuqaha:

1. Menurut madzhab hanafi, wadi’ah adalah:
تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو دلالة
“mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”
2. Jumhur ulama mendefinisikan wadi’ah, yaitu :
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu“.

2.1.2. Landasan Hukum Wadi’ah
Landasan hokum mengenai wadi’ah terdapat dalam al-Qur’an berdasarkan QS. An-Nisa’: 58, yang berbunyi:
 •        ....
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,. . .” (an-Nisa’: 58)
Selain itu juga terdapat dalam firman Allah QS. al-Baqarah: 283, berbunyi:
             ....
“…Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya..” (al-Baqarah: 283)
Sedangkan hadits yang menerangkan tentang wadi’ah yaitu sebagai berikut:
“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “sampaikan (tunaikan) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianati.” ( HR. Abu Daud, menurut Tirmidzi hadits ini hasan, sedangkan Imam Hakim mengkategorikan shahih).
Ibnu Umar berkata bahwasannya Rasulullah Saw bersabda, “ Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci.

Bagian Pertama
Rukun dan syarat Wadi’ah
Pasal 414
1. Rukun Wadi’ah terdiri atas:
a. Muwaddi’/pentip
b. Mustauda’/penerima titipan
c. Wadi’ah bih/harta titipan
d. akad
2. Akad dapat dinyatakan dengan lisan, tulisan, atau isyarat.
Pasal 415
Para pihak melakukan akad wadiah harus memiliki kecakapan hukum.
Pasal 416
Harta wadi’ah harus dapat dikuasai dan diserahterimakan.
Pasal 417
Muwaddi’ dan mustadi’ dapat membatalkan akad wadi’ah sesuai kesepakatan.
Bagian Kedua
Pasal 418
1. Akad wadi’ah terdiri atas akad wadi’ah amanah dan akad wadi’ah dhamamah.
2. Dalam akad wadi’ah amanah, mustaudi’ tidak dapat menggunakan wadi’ah bih, kecuali atas izin muwaddi’.
3. Daalam akad wadi’ah dhamamah, mustaudi’ dapat mengguankan wadi’ah bih tanpa seizin muwaddi’.

Pasal 419
1. Mustaudi’ dalam akad wadi’ah dhamamh dapat memberikan imbalan kepada muwaddi’ atas dasar sukarela.
2. Imbalam yang diberikan sebagaimana pada ayat (1) tidak boleh dipersyaratkan di awal akad.
Bagian Ketiga
Penyimpanan dan Pemeliharaan Wadi’ah Bih
Pasal 420
Mustaudi’ dapat meminta pihak lain yang dipercaya untuk menyimpan wadi’ah bih.
Pasal 421
Mustaudi’ harus menyimpan wadi’ah bih di tempat yang layak dan pantas.
Pasal 422
Jika mustaudi’ terdiri atas beberapa pihakdan wadi’ah bih tidak dapat dibagi-bagi, maka salah satu pihak dari mereka dapat menyimpannya sendiri setelah ada persetujuan dari pihak lain, atau mereka menyimpannya secara bergiliran.
Pasal 423
1. Jika wadi’ah bih dapat dipisah-pisah, maka masing-masing muwadi’ dapat membagi wadi’ah bih sama besarnya, sehingga setiap pihak menyimpan bagiannya.
2. Setiap pihak menyimpan bagian dari wadi’ah bih sebagaimana dalam ayat (1), dilarang menyerahkan bagian yang menjadi tanggung-jawabnya kepada pihak lain tanpa izin dari muwaddi’.
Pasal 424
1. Jika muwaddi’ tidak diketahui keberadaannya, mustaudi’ tetap harus menyimpan wadi’ah bih sampai diketahui atau dibuktikan bahwa muwaddi’ telah tiada.
2. Mustaudi’ dibolehkan memindah tangankan wadi’ah bih sebagaiman dalam ayat (1) setelah mendapat persetujuan dari pengadilan.
Pasal 425
1. Jika wadi’ah bih termasuk harta yang rusak bila disimpan lama, maka Mustaudi’ berhak menjualnya, serta hasil penjualannya disimpan berdasarkan amanah.
2. Jika harta sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) tidak dijual dan rusak, maka mustaudi’ tidak wajib menggati kerugian.
Pasal 426
1. Jika wadiah bih memerlukan biaya perawatan dan pemeliharaan, maka muwaddi’ harus bertanggung jawab atas biaya tersebut.
2. Jika muwadi’ tidak diketahui keberadaanya, maka mustaudi’ dapat memohon ke pengadilan untuk mentapkan penyelesaian terbaik guna kepentingan muwadi’
Pasal 427
1. Jika mustaudi’ mencampurkan wadiah bih dengan harta lainnya yang sejenis sehingga tidak bisa dibedakan tanpa seizin muwadi’, maka mustaudi’ dinyatakan bersalah.
2. Jika mustaudi’ mencampurkan wadi’ah bih dengan harta lain seizin muwadi’ atau tanpa sengaja tercampurkan, sehingga tidak dapat dibedakan antara yang satu dengan yang lainnya, maka kerusakan yang terjadi pada harta tersebut bukan tanggung jawab mustaudi’.
Pasal 428
Mustaudi’ tidak berhak mengalihkan wadi’ah bih kepada pihak lain tanpa seizin muwadi’.

Bagian Keempat
Pengembalian Wadi’ah Bih
Pasal 429
1. Muwadi’ dapat mengambil kembali wadi’ah bih sesuai ketentuan dalam akad.
2. Setiap biaya yang berkaitan dengan pengembalian wadi’ah bih menjadi tanggung jawab muwadi’.
Pasal 430
1. Apabila mustaudi’ meninggal dunia, maka ahli waris harus mngembalikan wadi’ah bih.
2. Mustaudi’ tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan wadi’ah bih yang terjadi sebelum diserahkan kepada muwadi’ dan bukan karena kelalaian.
Pasal 431
Segala sesuatu yang dihasilkan oleh wadi’ah bih menjadi milik muwadi’.
Pasal 432
1. Apabila muwadi’ tidak diketahui lagi keberadaannya, mustaudi’ harus menyerahkan wadi’ah bih kepada keluarga muwadi’, setelah mendapat penetapan dari pengadilan.
2. Apabila mustaudi’ memberikan wadi’ah bih tanpa penetapan pengadilan, maka ia harus menggung kerugian akibat perbuatan itu.
Pasal 433
1. Jika mustaudi’ meninggal dunia dan sebagian harta peninggalannya merupakan wadi’ah bih, maka ahli warisnya wajib mengembalikan harta tersebut kepada muwadi’
2. Jika wadiah bih hilang bukan karena kelalaian ahli waris, maka kereka tidak harus menggantinya.


Pasal 434
Jika muwadi’ meninggal dunia, maka muwaddi’ bih harus diserahkan kepada ahli warisnya.

2.1.3. Hukum Menerima Titipan
Hukum menerima barang titipan atau wadi’ah:
a. Wajib, bagi orang yang percaya bahwa dirinya mampu menerima dan menjaga benda-benda tersebut sementara orang lain tidak ada yang dapat dipercaya untuk memelihara/menjaga barang tersebut, sementara yang lain tidak seorangpun yang mampu dipercaya untuk memelihara/menjaga barang tersebut.
b. Sunah, bagi orang yang percaya bahwa dirinya mampu menerima benda-benda yang dititipkan kepadanya. Dengan demikian, hal ini dianggap sunat hukumnya apabila ada juga orang lain yang mampu menerima titipan.
c. Makruh, bagi orang yang percaya bahwa dirinya bersedia menerima amanah titipan namun ragu dalam kemampuannya. Keraguan inilah yang menjadi sebab dimakruhkan seseorang menerima benda-benda titipan.
d. Haram, bagi orang yang percaya bahwa dirinya tidak kuasa dan tidak mampu memelihara harta titipan, tetapi menyatakan bersedia menerima amanah tersebut. Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan sikap khianat kepada pihak yang menitipkan.
2.1.5. Barang Yang Dapat di Wadi’ahkan
Barang yang dapat diwadi’ahkan, antara lain:
a. Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box suatu tempat/kotak dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
b. Uang, jelas sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.
c. Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
d. Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga mempunyai nilai uang).
2.1.6. Macam-macam Wadi’ah
Secara umum wadi’ah terbagi menjadi dua macam, antara lain:
1. Wadiah Yad Al-Amanah (Trustee depository). Jenis ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Harta atau benda yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima tiitipan.
b. Penerima titipan (Bank) hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa mengambil manfaatnya.
c. Sebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya (fee) kepada yang menitipkan.
d. Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang sesuai adalah jasa penitipan (safe deposit box).

Titipan barang
Bebankan biaya penitipan

Keterangan:
Dengan konsep wadi’ah al-amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.
2. Wadiah Yad adh-dhamamah (Guarantee Depository). Wadiah jenis ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Harta atau benda yang dititipkan diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh penyimpan.
b. Apabila ada hasil dari benda titipan, maka hasil tersebut menjadi hak dari penyimpan. Tidak ada kewajiban dari penyimpan untuk memberikan hasil tersebut penitip sebagai pemilik benda.
Skema Wadi’ah Yad ad-Dhamamah

Titipan dana
Beri Bonus
Bagi hasil
Pemanfaatan dana

Keterangan:
Dengan konsep wadi’ah yad adh-dhamamah, pihak penerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tentu, pihak bank dalam hal ini mendapatkan keuntungan pengguna dana. Bank dapat memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus.
Karena dalam lembaga keuangan modern, penerima titipan (mustawda) tidak mungkin membiarkan begitu saja barang titipan tanpa memberikan menfaat apapun. Karena itu untuk menciptakan kemanfaatan melalui penggunaan barang titipan dalam usaha ekonomi, mustawda’ harus meminta ijin terlebih dahulu kepada pemilik barang dengan memberikan jaminan pengembalian barang tersebut dalam keadaan utuh.

2.2. Hiwalah
2.2.1. Pengertian Hiwalah
Secara epitemologi kata hiwalah berasal dari tahwil yang berarti pemindahan (intiqal). Sedangkan secara terminologi ada perbedaan pendapat, antara lain:
1. Syafi’iyah berpendapat:
عبارة ان يقوض شحص شيئا الى غيره ليفعله حال حياته
"suatu ibarah seseorang menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya.
2. Malikiyah berpendapat:
انينيب(يفيم)شحص غيره في حق له يتصرف فيه
“seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu.

3. Ulama hanafiyah berpendapat:
ان يفيم شحص غيره مقام نفسه في تصرف
"seseorang menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolaan).
Sedangkan menurut jumhur ulama, secaara terminologi hiwalah adalah akad yang menetapkan pemindahan hutang dari seseorang kepada orang lain.
Hiwalah merupakan akad yang digunakan untuk memindahkan hutang dari orang yang mengalaami kesulitan kepada orang yang mampu membayarnya. Hiwalah di syariatkan untuk memberikan kemudahan bagi hamba-hambanya dalam kehidupan muamalah. Melalui akad hiwalah, memungkinkan seseorang yang mengalami kesulitan untuk mengalihkan seseuatu yang masih menjadi tanggungannya (hutang) kepada pihak lain.
2.2.2. Landasan Hukum Hiwalah
Ijma dari para ulama,bahwa akad hiwalah hukumnya di bolehkan. Dalil-dalil syariah yang membolehkan berlakunya akad hiwalah ialah:
                
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.(QS.Al-Baqarah:280)
عن ابي هريرة رضي الله تعالي عنه تعال: قال رسول الله صلي الله عليه وسلم: "مطل الغني ظلم واذا اتبع احدكم علي مليئ فليتبع. متفق عليه وفي رواية لاحمد"ومن احيل فليحتل".
“menunda pembayaran bagi yang mampu adalah kezaliman. Dan apabila seorang dari kamu di ikutkan(di hiwalahkan) kepada orang lain yang mampu,maka terimalah hiwalah itu.”(Muttafaq ‘alaih)
Pada hadist tersebut, Rasululloh memberitahukan kepada orang yang menghutangnya, sekiranya ada orang yang menhiwalahkan kepada orang lain yang mampu (kaya), maka hendaklah dia menerima tawaran hiwalah itu untuk memberi kemudahan.sebagian ulama berpendapat, bahwa perintah untuk menerima hiwalah dalam hadist tersebut menunjukkan wajib.maka dari itu, wajib bagi yang menghutangkan (muhal) untuk menerima hiwalah itu. Sedangkan menurut mayoritas ulama, perintah itu menunjukkan sunnah hukumnya menerima hiwalah bagi muhal.

Bagian Pertama
Rukun Dan Syarat Hawalah
Pasal 362
1. Rukun hawalah/pemidahan hutang terdiri atas:
a. Muhil/peminjam
b. Muhal/pemberi pinjaman
c. Muhal alaih/penerima hawalah
d. Muhal bih/utang
e. akad
2. Akad sebagaiman dimaksud pada ayat (1) huruf dinyatakan oleh para pihak secara lisan, tulisan, atau isyarat.
Pasal 363
Para pihak melakukan akada hawalah/pemindahan hutang harus memiliki kecakapan hukum.
Pasal 364
1. Peminjam haruas memberitahukan kepada pemberi pinjaman bahwa ia akan memindahkan hutangnya kepada pihak lain.
2. Persteujuan pemberi pinjaman mengenai rencana peminjam untuk memindahkan hutang seperti yang dimaksud pada ayat (1), adalah syarat dibolehkannya akad hawalah/pemidahan hutang.
Pasal 365
1. Hawalah/pemindahan hutang tidak diisyaratkan adanya hutang dari penerima hawalah /pemindahan hutang, kepada pemindah hutang.
2. Hawalah /pemindahan hutang tidak diisyratkan adanya sesuatu yang diterima oleh pemindah hutang dari pihak yang menerima hawalah/pemindahan hutang.
Bagian Kedua
Akibat Hawalah
Pasal 366
1. Pihak yang hutangnya dipindahkan, wajib membayar hutangnya kepada penerima hawalah.
2. Peminjam hutang yang dipindahkan, kehilangan haknya untuk menahan barang jaminan
Pasal 367
1. Hutang pihak peminjam yang meninggal sebelum melunasi hutangnya, dibayar dengan harta peninggalanya.
2. Pembayaran hutang kepada penerima hawalah /pemindahan hutang harus didahulukan atas pihak-pihak pemberi pinjaman lainnya jika harta yang ditinggalakan oleh peminjam tidak mencukupi.
Pasal 368
Akad hawalah /pemindahan hutang yang bersyarat yang menjadi betal dan utang kembali kepada peminjam jika syarat-syaratnya tidak terpenuhi.
Pasal 369
Peminjam wajib menjual kekayaannya jika pembayaran hutang yang dipindahkan ditetapkan dalam akad bahwa hutang akan dibayar dengan dana hasil penjualan kekayaan.
Pasal 370
Pembayaran hutang yang dipindahkan dapat dinyatakan dan dilakukan dengan pasti, dan dapat pula dilakukan tanpa waktu pembayaran yang pasti.
Pasal 371
Pihak peminjam terbebas dari kewajiban membayar hutang jika penerima hawalah/pemindah hutang membebaskannya.
Pasal 372
Apabila terjadi hawalah pada seserang, kemudian orang yang menerima pemindahan hutang tersebut meninggal dunia, maka pemindahan yang telah terjadi tidak dapat diwariskan
2.2.3. Macam-macam Hiwalah
Akad Hiwalah, dalam praktiknya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok. Yang pertama adalah berdasarkan jenis pemindahannya. Dan yang kedua adalah berdasarkan rukun Hiwalah-nya. Kelompok pertama yang berdasarkan jenis pemindahannya, terdiri dari dua jenis Hiwalah, yaitu Hiwalah Dayn dan Hiwalah Haqq.
a) Hiwalah Dayn adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain.
b) Hiwalah Haqq adalah pemindahan kewajiban piutang kepada orang lain.
Hiwalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana melihatnya. Disebut Hiwalah Dayn jika kita memandangnya sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita memandangnya sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini, maka anjak piutang (factoring) yang terdapat pada praktik perbankan, termasuk ke dalam kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.
Di tinjau dari kesediaan pihak yang menerima pengalihan utang, akad hiwalah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hiwalah wuqayyadah dan hiwalah mutlaqah
a. Hiwalah muqayyadah, yaitu pengalihan pembayaran utang yang bersifat terbatas pada jumlah yang telah menjadi kewajiban untuk melunasinya. Misalnya, A (muhal lahu) memberi pinjaman kepada pihak B (muhil) kemudian karena B tidak mampu membayar utangnya kepada pihak A, lalu mengalihkan utang itu kepada C (muhal ‘alaih) sebagai pihak yang membayar karena memiliki utang kepada B. Namun karena pembayaran C bersifat terbatas pada jumlah utang yang telah menjadi kewajibannya, maka disebut hiwalah muqayyadah.
b. Hiwalah muthlaqah, yaitu pengalihan pembayaran utang yang bersifat tidak terbatas pada jumlah yang telah ditentukan. Artinya pihak yang menerima pengalihan tersebut bebas untuk menanggung utang sesuai dengan kesediaan maupun kemampuan yang dimilikinya. Misalnya: A (muhal lahu) member pinjaman kepada B (muhil). Kemudian B tidak mampu membayar utangnya kepada A, lalu mengalihkan utang tersebut kepada C (muhal ‘alaih) sebagai pihak yang bersedia dan memiliki kemampuan untuk membayar utang tersebut.

PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Melalui akad wadi’ah seseorang dapat menawarkan jasa untuk berbuat kebaikan (tabarru’) kepada orang lain yang membutuhkan. Bahkan dilembaga keuangan sekarang ini, keberadaan jasa penitipan telah menjadi bagian kehidupan social ekonomi yang tidak dapat dihindari.
Sedangkan dalam akad hiwalah apabila telah tercapai kesepakatan, maka dengan sendirinya kewajiban pihak yang berutang-piutang menjadi beralih kepihak lain yang menerima hiwalah. Namun dari manapun sebab terjadinya akad hiwalah, pada prinsipnya pihak yang berutang tetap berkewajiban melunasi hutangnya.
Dalam suatu akad apapun konsep kepercayaan sangat diperlukan untuk menjalin komunikasi antar social community, sehingga tidak terjadi miss communication antar sesamanya dan tidak terjadi kecenderungan yang mengakibatkan salah satu pihak, yang ingin melakukan suatu akad.









2 komentar: