Pendahuluan
Pengadilan merupakan tempat mencari keadilan dan menyelesaikan persoalan hukum yang muncul, di samping ada alternatif penyelesaian secara non-litigasi yang ada di Indonesia. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pengadilan mempunyai tugas utama, yaitu: memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan, memberi pelayanan yang simpatik dan bantuan yang diperlukan bagi pencari keadilan, serta memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efesien, tuntas dan final sehingga memuaskan kepada para pihak dan masyarakat.1 Berdasarkan konstitusi terdapat empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer. Masing-masing peradilan mempunyai kompetensi atau kewenangan sendiri yang sudah diatur oleh undang-undang. Peradilan agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai kompetensi memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara terkait keperdataan Islam. Perkembangan baru dalam ranah dunia peradilan adalah diberikannya kompetensi penyelesaian sengketa ekonomi syariah kepada peradilan agama. Kompetensi tersebut merupakan suatu tantangan baru bagi aparat hukum di lingkungan peradilan agama, sehingga dibutuhkan kesiapan dalam menangani kasus-kasus tersebut. Persoalan yang muncul kemudian dan akan dibahas dalam tulisan ini adalah terkait kompetensi peradilan mana yang berhak memeriksa dan memutus perkara dalam sengketa perbankan syariah. Dalam Undang-undang Perbankan Syariah diberikan kompetensi mengadili secara litigasi kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum. Padahal dalam revisi Undang-undang Peradilan Agama yang baru, sengketa ekonomi syariah menjadi kompetensi absolut peradilan agama. Apakah hal ini berarti ada reduksi kompetensi peradilan agama dalam perbankan syariah?
Kewenangan Absolut Peradilan Agama Kompetensi absolut
peradilan agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mengalami perubahan strategis sebagai respon atas perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, terutama menyangkut ekonomi syariah seiring kehadiran Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kompetensi absolut yang urgen penulis kemukakan adalah ketentuan Pasal 49 dan Pasal 50. Pasal 49 menyebutkan bahwa pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan b. Waris c. Wasiat d. Hibah e. Wakaf f. Zakat g. Infaq h. Shadaqah, dan i. Ekonomi Syariah Penjelasan Pasal 49 menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa tidak dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini. Kemudian terkait ekonomi syariah, penjelasan Pasal 49 huruf i menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. Pasal 49 menyebutkan bahwa: 1. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. 2. Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49. Penjelasan Pasal 50 Ayat 1 Cukup jelas Ayat 2 Ketentuan ini memberi wewenang kepada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam pasal 49 apabila subjek sengketa antar orang-orang yang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan. Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek yang bersengketa di Pengadilan Agama, sengketa di pengadilan agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan umum. Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke Pengadilan Agama bahwa telah didaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri terhadap objek sengketa di Pengadilan Agama. Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, Pengadilan agama tidak perlu menangguhkan putusannya terhadap objek sengketa yang tidak terkait dimaksud.
Menurut Mukti Arto, ada dua asas untuk menentukan kompetensi absolut Pengadilan Agama, yaitu apabila: suatu perkara menyangkut status hukum seorang muslim, atau suatu sengketa yang timbul dari suatu perbuatan/peristiwa hukum yang dilakukan/terjadi berdasarkan hukum Islam atau berkaitan erat dengan status hukum sebagai muslim.3 Berdasarkan ketentuan Pasal 49 beserta penjelasannya maka dapat dipahami bahwa subyek hukum dalam sengketa ekonomi syariah, yaitu: a. Orang-orang yang beragama Islam; b. Orang-orang yang beragama bukan Islam namun menundukkan diri terhadap hukum Islam; c. Badan hukum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan hukum Islam. Sedangkan ketentuan Pasal 50 beserta penjelasannya menunjukkan bahwa asas personalitas keislaman terkait agama yang dianut oleh pihak yang bersengketa dalam sengketa keperdataan mengenai hak milik dikedepankan dalam menentukan kewenangan absolut peradilan yang menangani sengketa tersebut. Jika para pihak yang bersengketa beragama Islam maka peradilan agama mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketentuan ini mempunyai relevansi yang erat dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah terkait jaminan kebendaan, semisal mengenai hak tanggungan4 dan fiducia. Kehadiran orang yang beragama selain Islam menjadi subyek hukum dalam perkara ekonomi syariah menunjukkan suatu perkembangan hukum di mana kegiatan usaha yang mendasarkan pada prinsip syariah tidak hanya diminati oleh orang-orang Islam saja. Dalam praktek, banyak ditemui para nasabah yang menikmati produk maupun jasa perbankan syarian adalah orang-orang yang beragama bukan Islam. Dengan demikian, konsep ekonomi Islam diharapkan mampu membumi dalam kehidupan
masyarakat atau dalam perkataan lain menjadi rahmatan lil alamin. Adapun keberadaan badan hukum menjadi subyek hukum dalam perkara ekonomi syariah adalah relevan seiring dengan pesatnya kegiatan usaha atau bisnis yang melibatkan badan hukum 6 baik berupa perseroan terbatas maupun koperasi. Kegiatan ekonomi syariah tidak hanya melibatkan orang dalam arti manusia pribadi tetapi juga badan hukum. Sehingga tatkala kegiatan ekonomi berdasarkan prinsip syariah tersebut menimbulkan suatu persoalan atau sengketa maka baik manusia pribadi maupun badan hukum dapat bertindak sendiri dalam menyelesaikan sengketanya. Namun, tentunya untuk badan hukum diwakili oleh direksi dalam perseroan terbatas dan pengurus untuk bentuk koperasi.
Reduksi Kewenangan dalam Bidang Perbankan Syariah
Berdasarkan asas personalitas keislaman pembentuk undang-undang memandang perlu dan tepat melimpahkan kekuasaan penyelesaian perkara ekonomi syari’ah kepada Pengadilan Agama yang merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia yang bertugas menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum Islam. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, kekuasaan pengadilan diatur dengan undang-undang. Secara yuridis formal (regulatif), selama ini belum pernah ada suatu peraturan perundang- undangan yang secara khusus melimpahkan kekuasaan mengadili perkara ekonomi syariah ini kepada pengadilan tertentu di Indonesia. Oleh sebab itu, tidaklah salah dan sudah tepat jika masalah ekonomi syariah diserahkan oleh Undang-Undang No.3 Tahun 2006 kepada Pengadilan Agama. Apa yang telah dilimpahkan kepada Pengadilan Agama
ini menjadi kekuasaan absolut Pengadilan Agama.
Kompetensi absolut peradilan agama mengenai perkara ekonomi syariah sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 menunjukkan bahwa tatkala perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah terdapat sengketa maka muara penyelesaian sengketa secara litigasi adalah menjadi kompetensi peradilan agama. Adapun penyelesaian melalui non-litigasi dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase dalam hal ini Basyarnas (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dan alternatif penyelesaian sengketa dengan memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah. Persoalan yang muncul kemudian adalah tatkala Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan kompetensi atau kewenangan kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Pasal 55 (1) Penyelesaian perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbritase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Ketentuan Pasal 55 ayat (2) beserta penjelasannya tersebut menunjukkan adanya reduksi kompetensi absolut peradilan agama di bidang perbankan syariah. Peradilan agama yang berdasarkan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 mempunyai kompetensi menangani perkara ekonomi syariah yang di dalamnya termasuk perkara perbankan syariah ternyata dikurangi oleh perangkat hukum lain yang notabene sebenarnya dimaksudkan untuk memudahkan penanganan perkara ekonomi syariah, khususnya di bidang perbankan syariah. Adanya kompetensi peradilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum dalam bidang perbankan syariah selain menunjukkan adanya reduksi juga mengarah pada dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi, sekalipun kompetensi yang diberikan kepada peradilan umum adalah terkait isi suatu akad, khususnya mengenai choice of forum atau choice of yurisdiction. Dalam sejarah kompetensi peradilan agama, pernah berlangsung ketentuan tentang pilihan hukum (choice of law) dalam perkara kewarisan. Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 disebutkan bahwa bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana pewarisan tersebut berdasarkan hukum Islam. Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan. Ketentuan ini kemudian dihapus dengan keberadaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. Ketentuan Pasal 55 ayat (2) jika dipahami berdasarkan teori hukum perjanjian, maka ketentuan tersebut adalah terkait adanya asas kebebasan berkontrak. Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolut. Sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan.
Menurut Faturrahman Djamil, bahwa syariah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran agama.10 Pasal 1338 KUH Perdata ayat (1) menyebutkan, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata “semua” dipahami mengandung asas kebebasan berkontrak, yaitu suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. membuat atau tidak membuat perjanjian, b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun, c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan d. menentukan bentuk perjanjian, yaitu secara tertulis atau lisan.11 Munculnya isi perjanjian dimana para pihak menyepakati jika terjadi suatu sengketa akan diselesaikan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum merupakan kebebasan para pihak dalam menentukan isi suatu perjanjian, yang termasuk di dalamnya mengenai pilihan lembaga dalam menyelesaikan sengketa. Ada dua cara dalam menentukan pilihan di mana sengketa akan diselesaikan berdasarkan belum atau sudah terjadinya sengketa, yaitu melalui factum de compromittendo dan acta compromis. Factum de compromittendo merupakan kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian mengenai domisili hukum yang akan dipilih tatkala terjadi sengketa. Ketentuan ini biasa dicantumkan dalam kontrak atau akad yang merupakan klausula antisipatif. 12 Sedangkan acta compromis adalah suatu perjanjian tersendiri yang dibuat setelah terjadinya sengketa. Namun demikian, pilihan tempat penyelesaian sengketa di sini lebih mengarah pada wilayah yurisdiksi pengadilan dalam satu lingkungan peradilan, bukan pilihan terhadap peradilan di lingkungan yang berbeda.
semangat bro
BalasHapus