Sabtu, 02 Juli 2011

Alih Teknologi


ASPEK HUKUM ALIH TEKNOLOGI
Perkembangan teknologi yang demikian pesat setelah zaman renaissance, yang disertai dengan industrialisasi yang terjadi dimana-mana dibelahan dunia telah membagi dunia ini ke dalam dua kubu. Yang pertama adalah kubu yang memiliki perkembangan teknologi yang demikian pesat, yang biasanya disebut dengan negara maju (developed countries), dan kedua adalah kubu yang dalam banyak hal disebut dengan negara terbelakang (under developed atau developing countries) atau yang sering disebut juga dengan negara dunia ketiga (third world countries).
Masalah alih teknologi (transfer of technology) ini selanjutnya menjadi penting bagi dunia ketiga, terutama dengan makin mengglobalnya dunia. Globalisasi duania yang terjadi setelah perang dunia kedua, yang berawal di Bretton Woods ini telah menjadi cikal bakal dari lahirnya suatu organisasi dunia World Trade Organization di tahun 1994.[1]
Alih teknologi dilancarkan oleh negara berkembang sejak beberapa dasawarsa lalu yang merupakan isu pokok dalam investasi asing. Konflik-konflik yang timbul antara perusahaan asing dan domestik terfokus pada perbedaan kepentingan. Negara berkembang berharap dengan masuknya modal asing sekaligus mensukseskan pembangunan ekonomi. Sementara itu, perusahaan asing ingin meraup keuntungan sebanyak mungkin dari negara berkembang.[2]
Masalah pengalihan teknologi tidak lepas dari sudut pandang makroekonomi dan mikroekonomi. Dari sudut makroekonomi, alih teknologi merupakan suatu hal yang sangat efektif bagi negara berkembang untuk mengejar negara maju (technology transfer is extremely effective means for developing countries to catch up the developed countries). Keberhasilan alih teknologi dari sudut pandang ini didorong oleh (1) globalisasi aktivitas bisnis dan (2) makin meningkatnya perhatian dunia terhadap hak milik intelektual. Dari sudut mikro ekonomi, yakni dari kacamata perusahaan yang berhubungan dengan manajemen bisnisnya melalui lisensi. Dalam tubuh perusahaan (enterpriser), keberhasilan alih teknologi melalui lisensi didorong oleh (1) R&D, department dan (2) business department.[3]
Dalam Background Reading Material on IntellectualProperty yang diterbitkan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO), disebutkan tiga macam format hukum dasar yang dapat ditempuh untuk melaksanakan alih teknologi, yaitu:
1.      Dalam bentuk penjualan dan pengalihan teknologi
2.      Melalui pemberian lisensi
3.      Dengan Know-How Agreements.
Hal pertama yang berhubungan dengan penjualan atau pengalihan teknologi sulit untuk dilaksanakan oleh negara berkembang dengan mengingat akan berbagai hambatan atau rintangan yang sering kali di temui dalam praktek, khususnya yang berhubungan dengan :
a.       Kurangnya keahlian (expertise) untuk mengelola dan melaksanakan teknologi yang dibeli atau diambil alih tersebut.
b.      Kurangnya sarana, prasarana tersebut alat-alat yang diperlukan untuk melaksanakan teknologi.
c.       Kurangnya perangkat-perangkat lunak.
Oleh karena itu maka cara yang sebenarnya terbaik untuk melakukan alih teknologi adalah melalui pemberian lisensi. Melalui pemberian lesensi, penerima lisensi diharapkan dapat belajar untuk melaksanakan sendiri Hak Atas Kekayaan Intelektual dalam bentuk teknologi yang dilisensikan tersebut. Melalui lisensi ini, penerima lisensi diharapkan dapat melakukan modifikasi, pengembangan dan penyempurnaan lebih lanjut dari teknologi yang dilisensikan, serta kemudian memiliki sendiri teknilogi yang handal, yang menjadi bagian dari Hak atas Kekayaan Intelektual yang dimiliki olehnya sendiri.
Makna lisensi secara tidak langsung sudah bergeser kearah “penjualan” izin (privilage) untuk menggunakan paten, hak atas merek (khususnya merek dagang) atau teknologi (diluar perlindungan paten = rahasia dagang) kepada pihak lain. Sampai sejauh inipun sesungguhnya lisensi masih dikaitkan dengan kewenangan dalam bentuk privilage tersebut yang diberikan oleh negara untuk menggunakan dan memanfaatkan paten, rahasia dagang maupun teknologi tertentu.
Pelaksanaan pemberian lisensi ini dapat disertai atau tidak disertai dengan Know-How Agreements. Dengan know-how Agreements ini diharapkan pemberi lisensi dapat memberi pengetahuan yang lebih intensif bagi penerima lisensi dalam mengoptimumkan pelaksanaan dari Hak atas Kekayaan Intelektual yang dilesensikan tersebut. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang terlepas dari Hak atas Kekayaan Intelektual yang menjadi pokok dasar pemberian lisensi namun sangat diperlukan untuk menjalankan dan melaksanakan Hak atas Kekayaan Intelektual yang dilisensikan secara lebih optimum.
Selanjutnya dalam Backround Reading Material on Intellectual Property tersebut disebutkan lagi sekurangnya ada lima macam cara lain yang dapat dilakukan oleh negara berkembang untuk melakukan alih teknologi:
1.      Melalui importasi barang-barang modal
2.      Dengan waralaba (franchising) dan program distribusi (distributorship)
3.      Perjanjian manajemen dan konsultasi (consultation agreements)
4.      Turn key projeck dalam bentuk kerja sama pabrikasi yang melibatkan penyertaan modal yang cukup besar dengan satu sumber teknologi yang bertanggung jawab sepenuhnya atas keberhasilan jalannya proyek tersebut.
5.      Joint venture agreements. Jika dalam consultation sgreements, negara berkembang harus memainkan peran yang aktif agar mereka dapat memperoleh secara optimum teknologi yang ingin diserap.[4]

CARA ALIH TEKNOLOGI
Alih teknologi dari suatu negara kenegara lain, umumnya dari negara maju berkembang dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada macamnya bantuan teknologi yang dibutuhkan untuk suatu proyek. Teknologi dapat dipindahkan melalui cara sebagai berikut:
1.      Memperkerjakan tenaga-tenaga ahli aging perorangan.
Dengan cara ini negara berkembang bisa dengan mudah mendapatkan teknologi, yang berupa teknik dan proses manufacturing yang tidak dipatenkan. Cara ini hanya cocok untuk industri kecil dan menengah.
2.      Menyelenggarakan suplai dari mesin-mesin dan alat equipment lainnya. Suplai ini dapat dilakukan dengan kontrak tersendiri.
3.      Perjanjian lisensi dalam teknologi sipemilik teknologi dapat memudahkan teknologi dengan memeberikan hak kepada setiap orang/badan untuk melaksanakan teknologi dengan suatu lisensi.
4.      Expertisi dan bantuan, teknologi.
Keahlian dan bantuan dapat berupa:
a.       Studi pre-investasi.
b.      Basic pre-ingeenering.
c.       Spesifikasi masin-mesin.
d.      Pemasangan dan menja1ankan mesin-mesin.
e.       Manajemen.[5]
Penanaman modal asing diharapkan dapat mewujutkan alih teknologi dan peningkatan ilmu pengetahuan. Kelemahan negara berkembang dalam bidang teknologi akan sangat mempengaruhi proses transformasi dari agraris menuju industrialisasi.
Untuk itulah diperlukan adanya dana yang cukup untuk dialokasikan dalam pengembangan teknologi. Bagi Indonesia, investasi asing mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses industrialisasi dan alih teknologi.
Pada sisi lain, untuk meningkatkan pengembangan teknologi informasi, pemerintah Indonesia harus mendatangkan investor asing yang bergerak dalam bidang teknologi informasi. Investasi tersebut digunakan untuk mengurangi kesenjangan digital sesuai target pemerintah bahwa seluruh penduduk Indonesia sudah memiliki akses internet tahun 2005.
Untuk menarik investor asing, kemudahan-kemudahan investasi saja tidak cukup tetapi diperlukan juga adanya perlindungan Hak Milik Intelektual. Hal ini untuk mengatasi berbagai pelanggaran atau pembajakan pada piranti lunak  (software).  Pada saat ini di Indonesia, pembajakan software mencapai 88 persen, dan mendudukkan Indonesia sebagai salah satu negara tertinggi tingkat pembajakannya di dunia setelah Vietnam dan Cina. Menurut Direktur Bisnis  Software Alliance (BSA) untuk Asia Pasifik Jess Hardee, pada tahun 1996 tingkat pembajakan mencapai 96 persen, tahun 2001 mencapai 88 persen.[6]
Filosofi  mendasar tentang pengaturan alih teknologi dalam TRIPs Agreement adalah karena teknologi memiliki kaitan yang sangat kuat dengan beberapa kekayaan intelektual seperti paten dan merek.
Alih teknologi dalam persetujuan tersebut diatur dalam pasal 7 dan pasal 8. Oleh  karena  itu,  terdapat  alasan  moral  dan  sosial  sebagaimana  tercantum dalam kedua pasal tersebut yang menyebutkan ;
Article 7
Objectives
 “The  protection  of  enforcement  of  intellectual  property  rights  should     contribute  to  promotion  of  technological  innovation  and  to  the transfer  and dessimation of technology to the mutual advantages of producers  and  users  of  technological  knowledge  in  a  manner conductive  to social and economic welfare, and  to balance of rights and obligations.”
            Dari rumusan kedua ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 TRIPs dapat kita ketahui bahwa masalah alih teknologi ternyata juga telah menjadi perhatian pokok dalam TRIPs. Pada ketentuan Pasal 7 TRIPs secara tegas dikatakan pentingnya alih teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomis dari negara peserta TRIPs. Dalam ketentuan Pasal 8  TRIPs, dengan menekankan pada paerlunya perlindungan pada kesejahteraan masyarakat dan gizi (public bealth and nutrition), serta untuk menggalakkan sektor-sektor yang vital untuk kepentingan publik yang di laksanakan dalam rangka pengembangan teknologi dan sosio ekonomis negara peserta TRIPs, masing-masing negara di berikan hak untuk sampai pada derajad tertentu mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menunjang pengalihan teknologi yang diharapkan.
v  Justifikasi pemberian  paten
Suatu perlindungan hukum seharusnya diberikan untuk memacu kreativitas menciptakan suatu invensi. Tanpa adanya perlindungan, maka kegiatan dalam bidang penelitian dan pengembangan dibidang apapun  akan tidak bergairah. Diperlukan insentif dari pemerintah serta jaminan prlindungan hukumnya agar setiap hasil kreativitas intelektual tidak mudah ditiru oleh pihak lain. Memang, dari sudut pandang negara berkembang, HaKI dan perlindunganya mungkin belum begitu berperan dalam pembangunan. Namun demikian, mengingat kepentingan, baik individu, masyarakat, maupun nasional dan internasional, sangatlah perlu untuk memberi perlindungan, meskipun hanya minimal sesuai standart TRIPs.
Negara berkembang biasanya berkedudukan  sebagai pembeli  atau license teknologi, bukan pemilik kekayaan intelektual sehingga merasa tidak relevan bila melindunginya dengan penegakan hukum terlalu ketat. Sebaliknya di negara maju, multinational corporation menciptakan penemuan berpaten yang bernilai tinggi di persaingan global, seperti obat-obatan, komputer, dan lain-lain. Negara maju ingin menguasai pasar dengan memanfaatkan jaminan perlindungan hkum dari setiap negara berkembang. Di sisi lain negara berkembang mempertanyakan adanya pengalihan teknologi guna pembangunan ekonomi dan kesjahteraan masyarakat.
Adapun landasan pembenaran pemberian paten adalah sebagai berikut:
1.      Incentive to create invention, yakni insentif untuk kegiatan research and development yang memacu perkembangan teknologi dan inovasinya agar lebih cepat.
2.      Rewarding atau penghargaan terhadap si penemu akan penemuannya yang bermanfaat bagi pengembangan teknologi dan industri. Si penemu telah bersusah payah denagn beban waktu dan biaya, menghasilkan suatu penemu tersebut di hargai.
3.      Paten sebagai sumber informasi, artinya dengan adanya disclosure clause, maka penemuan yang telah diumumkan akan dapat dipergunakan pihak lain unntuk membuat perbaikan atau penyempurnaan dan seterusnya sehingga di mungkinkan terjadi improvement on the improvement
       
 Pengaturan alih teknologi dalam hukum positif Indonesia
1.      Undang-undang No. 1 tahun 1967 
Keberadaan  teknologi  dalam  undang-undang  tersebut  secara tegas  diatur  dalam  pasal  2,  yang  menyebutkan  bahwa  pengertian modal asing dalam undang-undang ini adalah :
a.       Alat  pembayaran  luar  negeri  yang  tidak merupakan  bagian  dari kekayaan  devisa  Indonesia,  yang  dengan  persetujuan pemerintah  digunakan  untuk  pembiyaan  perusahaan  di Indonesia
b.      Alat-alat untuk perusahaan,  termasuk penemuan-penemuan dari milik orang asing dan bahan-bahan yang dimasukkan dari luar ke dalam wilayah Indonesia, selama alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan devisa Indonesia. 
2.      Undang-undang No. 6 tahun 1967
Undang-undang  No.  6  tahun  1967  tentang  Penanaman  Modal Dalam  Negeri  secara  jelas  mengatur  tentang  alih  teknologi  yang terjadi dengan cara importasi barang-barang modal termasuk alat-alat dan perlengkapan  perusahaan. Secara  lengkap  diatur  dalam  pasal 15: “pengimporan  barang-barang  modal,  termasuk  peralatan  dan perlengkapan  perusahaan  yang  diperlukan  untuk  usaha-usaha pembangunan  baru  dan  rehabilitasi  dalam  bidang-bidang  tersebut dalam pasal 9 ayat (1) dapat diberi keringanan-keringan bea masuk”.
3.      Undang-undang No. 25 tahun 2007
Undang-undang No. 25 tahun 2007 menyebutkan secara letter lijk tentang pengaturan alih teknplogi sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat  (2)  huruf  c,  bahwa  salah  satu  tujuan  penyelenggaraan penanaman modal adalah meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional. Pasal 10 ayat (4), dalam hal ketenagakerjaan jika penanaman  modal  mempekerjakan  tenaga  kerja  asing,  maka penanam  modal  tersebut  diwajibkan  untuk  menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih  teknologi kepada  tenaga kerja warga negara  Indonesia  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan.  Pasal  12  ayat  (5)  tentang  bidang  usaha,  pemerintah menetapkan bidang usaha yang salah satu  tujuannya adalah untuk meningkatkan kapasitas teknologi nasional.
4.      Undang-undang No. 4 tahun 1984
Disamping  berbagai  peraturan  perundang-undangan  diatas, Undang-undang  no.  4  tahun  1984,  terutama  pasal  16  ayat  (2) tentang  Perindustrian  memberi  peluang  alih  teknologi  ke  dalam negeri jika perangkat teknologi industri yang dibutuhkan tidak cukup tersedia di dalam negeri.
5.      Undang-undang No. 14 tahun 2001
Dua  hal  penting  berkaitan  dengan  alih  teknologi  sebagaimana diatur  dalam  Undang-undang  No.  14  tahun  2001  tentang  Paten. Undang-undang  tersebut  mengatur  dua  hal  :  Pertama,  cara beralihnya  teknologi  (tehnologi  yang  dipatenkan)  bisa  melalui beberapa  cara  sebagaimana  diatur  dalam  pasal  66,  bahwa  paten dapat beralih atau dialihkan, baik sebagian atau seluruhnya karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis ataupun sebab lain yang dibenarkan  oleh  peraturan  perundang-undangan.  Kedua,  larangan pencantuman  klausul  restriktif  dalam  kontrak  lisensi  sebagaimana diatur  dalam  pasal  71  disebutkan  bahwa  klausul  perjanjian  lisensi tidak  boleh  memuat  ketentuan,  baik  langsung  maupun  tidak langsung,  yang  dapat  merugikan  perekonomian  Indonesia  dan mengembangkan teknologi pada umumnya.
6.      Undang-undang No. 18 tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2005
Undang-undang No.  18  tahun  2002  dan Peraturan Pemerintah No.  20  tahun  2005  merupakan  satu  paket  yuridis  yang  mengatur tentang  teknologi  dan  alih  teknologi  yang  terkait  langsung  dengan kegiatan penelitian dan pengembangan secara nasional.
7.      Keputusan Menteri Perindustrian No. 41/M/SK/3/1979
Surat  Keputusan  (SK) Menperin  No.  41  tahun  1979 mengatur secara  khusus  alih  teknologi  dalam  kegiatan  industri  tekstil.  SK Menperin tersebut menyebut secara eksplisit tentang cara peralihan teknologi  yang  bisa  dilakukan  melalui  penyuluhan,  seminar, penataran, pendidikan, dan latihan.

Bentuk Hukum  Alih Teknologi
Bentuk hokum alih teknologi dibagi menjadi dua yaitu : direct invesment dan indirect investment.
1.      Direct Investment
UU No. 1/1967 mengatur masalah ‘direct investment’ dimana investor harus menanamkan modalnya dalam bentuk pendirian perusahaan (Perseroan Terbatas, mengelola dan  melakukan kontrol langsung  atas  usahanya serta langsung menanggung resiko atas investasinya (pasal 1). Umumnya investor berasal dari perusahaan transnasional atau multinasional dari negara maju. Ada beberapa motivasi mengapa mereka mau menanamkan modal diluar negaranya :
a.      Adanya kejenuhan pasar dinegaranya, sehingga menimbulkan iklim kompetisi yang ketat dan cenderung tidak sehat.
b.      Adanya peluang pasar dinegara tujuan investasi atau sekitarnya dan hal itu dilakukan untuk ekspansi pasar.
c.       Adanya ‘cost of production’ yang tinggi disebabkan oleh mahalnya faktor-faktor produksi, misalnya upah tenaga kerja tinggi; sumber daya alam yang terbatasyang menyebabkan  harga bahan baku menjadi  mahal, sementara sumber daya alam di  negara tujuan investasi sangat signifikan.
d.      Pendayagunaan kembali mesin-mesin atau teknologi yang dinegaranya sendiri mungkin sudah usang dan dilarang untuk dipakai, misalnya, karena damapak negatif yang signifikan ini (ini harus diwaspadai).
Dalam kaitan dengan alih teknologi , Pasal 2 UU No. 1/1967 menetapkan bahwa     :
”alat-alat perusahaan dan penemuan-penemuan (Invention) baru milik orang asing termasuk kategori modal asing”. Dalam arti bahwa alat-alat dan penemuan tersebut dapat dianggap sebagai inbreng (pemasukan yang bernilai ekonomis dan dikonversi sebagai saham). Untuk itu perlu diwaspadai agar tidak terjadi mark up harga dan penilaian teknologi secara berlebihan. Alat-alat dan penemuan-penemuan baru tersebut seharusnya sudah di nilai inclusive sebagai inbreng pada perusahaan.  Namun di dalam praktek, para investor dengan keahliannya masih dapat menuntut royatly di luar interest selaku pemegang saham, dengan dalih bahwa keahlian atau know how untuk mengoperasikan alat-alat terebut adalah diluar kesepakatan yang ada dan oleh karena itu harus dihargai; hal yang sama terjadi manakala  invensi atau penemua-penemuan tersebut membutuhkan know-how untuk mengaplikasikannya.
Dalam UU No. 1/1967 sebenarnya diatur alih teknologi dalam 3 (tiga) pengertian :
a.       Transfer of knowledge or skill
Berkaitan dengan transfer of knowledge, Pasal 12 UU No. 1/1967 mewajibkan investor untuk mendidik tenaga kerja Indonesia sebagai upaya pengembangan  kualitas sumber daya manusia. Pendidikan inilah yang idealnya, menjadi sarana alih teknologi. Namun harus diwaspadai manakala mengikuti pendidikan yang diselenggarakan pihak asing, jangan sampai kita terkecoh, maksud hati memperoleh pengetahuan atau teknologi dari mereka,  kenyataannya justru kita yang dijadikan obyek penelitian guna mengembangkan pengetahuan atau teknologi mereka agar dapat mempertahankan posisi determinan dan dominannya terhadap negara berkembang.
b.      Transfre of share (divestasi)
Transfer of share atau Indonesianisasi saham (divestasi) tujuannya adalah untuk percepatan penguasaan kendali perusahaan (berikut perangkat lunaknya, informasi dan  teknologi). Dalam upaya pencapaian tujuan tersebut sebelum berlakunya PP No. 20/1994 Tentang Kepemilikan Saham Asing Pada Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman modal, kebijakan Pemerintah menetapkan bahwa dalam tempo 15 (lima belas)  atau 20 (dua puluh)  tahun sejak produksi komersil posisi partner Indonesia harus menjadi mayoritas 51% : 49%  dalam kepemilikan saham pada suatu perusahaan PMA. Kenyataannya meski partner Indonesia sudah dalam posisi mayoritas yang asumsinya akan mengendalikan perusahaan, toh kita harus tetap mengakui keunggulan partner asing yang sangat piawai dalam ‘bermain’ di celah-celah hukum, misalnya, kendali tetap mereka pegang melalui berbagai perjanjian seperti technical assistant agreement, management agreement dan lain-lain. Adanya  kenyataan itu  sebenarnya  bertentangan  dengan prinsip National Treatment dan Most Favoured Nation yang menjadi prinsip dasar WTO.
c.       Transfer of employee
Transfer of employee ditetapkan dasar pada Pasal 11 yang menetapkan bahwa “ Tenaga kerja asing dapat dipakai di perusahaan, PMA, sepanjang jabatan tersebut belum dapat diisi oleh pengusaha Indonesia”. Ada catatan disini dalam praktek tenaga kerja asing untuk jabatan yang sama dapat memperoleh upah 10 (sepuluh)  kali bahkan lebih dari tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan kenyataan tersebut nampak bahwa yang terjadi adalah sell bukan share apalagi transfer of technology yang dapat digunakan sebagai sarana alih teknologi. Memang dalam asal 11 dimungkinkan memperkerjakan tenaga kerja asing, tetapi keahliannya harus ditransfer kepada tenaga kerja Indonesia.
Secara psikologis UU No. 1/1967 tentang PMA dengan UU No. 6/1968 memiliki keterkaitan yakni mengatur suatu badan usaha (berbentuk Perseroan Terbatas) dengan fasilitas tertentu. Perbedaannya, jika UU No. 1/1967 dimaksudkan untuk mengundang investor asing ke Indonesia, sedangkan UU No. 6/196 8untuk melindungi investor dalam negeri. Dalam pengalamannya ada ‘sedikit’ kontradiksi. Hal ini dapat dilihat UU No. 1/1967 dalam Pasal 18 menetapkan perusahaan PMA dibatasi jangka waktu berusahanya selama 30 tahun.
Ketentuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 36/1997 Jo PP No. 19/1988 Tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam bidang Perdagangan dan Kemudian diikuti dengan SK Menteri Perdagangan No. 77/KP/III/78 Jo SK No.376/KP/XI/88 Tentang Kegiatan Perdagangan Terbatas Pengusahaan Produksi Dalam Rangka Penanaman Modal yang menetapkan bahwa “Perusahaan asing tidak di izinkan menjual produknya kepada konsumen dan untuk itu harus bekerja sama dengan perusahaan nasional selaku distributor”.
Adanya ketentuan tersebut dianggap sebagai tindakan pembatasan (Business Restriction) yang bertentangan dengan Trade Related Investment Measures (TRIMS) sebagai salah satu agenda WTO. Adanya ketentuan tersebut disikapi oleh  investor asing dengan jalan mengalihkan aktivitasnya dalam bentuk ‘indirect investment’, misalnya, dengan cara membuat perjanjian lisensi.
2.       Indirect Investment (Perjanjian Lisensi Paten)
UU No. 14/2001 menetapkann bahwa : “Paten adalah hak eklusif yang diberikan oleh negara kepada investor (penemu) atas hasil invensi (penemuannya) dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya”. (Pasal 1 Angka 1). Invensi (penemuan) adalah ide inventor (penemu) yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik dibidang teknologi dapat berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses (Pasal 1 Angka 2).
Berdasarkan ketentuan tersebut, hakekat paten adalah suatu hak ‘monopoli’ yang diberikan negara kepada investor sebagai reward atau incentive baginya atas pengungkapan invensi tersebut kepada masyarakat (pada saat pengumuman) melalui patent description / spesification. Tujuannya adalah agar masyarakat memperoleh pengetahuan baru dalam mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan. Sebaliknya bagi bagi inventor, paten memberikan hak ekonomis untuk mengeksploitasi penemuannya, antara lain, melalui perjanjian lisensi dengan imbalan royalty. Disamping itu inventor memiliki hak moral agar namanya selaku inventor tetap di cantumkan dalam sertifikat paten, meski patennya telah dialihkan kepada pihak lain, misalnya perusahaan sebagai pemegang paten. Dan kondisi ini askan memacu proses industrialisasi suatu negara.
Dalam hal ini daur kondisi tersebut dapat dilihat dari keterkaitan teknologi, ilmu pengetahuan dan invensi (inovasi) serta lingkungan (skema I). Tambahan pula ada keterkaitan antara investor (invensi) dengan royalty sebagai reward atau incentive serta pengembangan sumber daya manusia.
Dalam hal paten, tidak semua teknologi dapat diberikan paten. Persyaratan substantif / materiil agar suatu teknologi dapat dipatenkan adalah
  1. novelty (kebaruan)
  2. Inventive step (langkah inventif)
  3. Industrially applicable (dapat diterapkan dalam industri)
Suatu teknologi dianggap baru jika teknologi tersebut tidak sama dengan ‘prior art’ (teknologi paling mutakhir saat itu yang menjadi pembanding). ‘Prior art’ dalam bahasa undang-undang disebut “teknologi yag telah diungkapkan atau diumumkan sebelumnya”. Dalam hal ini pengumuman dimaksudkan dapat berupa suatu tulisan; uraian lisan atau melalui peragaan atau cara-cara lain yang mengakibatkan seorang ahli (meniru) melaksanakan invensi yang sama. Ukuran kebaruan juga didasarkan pada jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah adanya invensi harus segera didaftarkan, jika tidak maka nilai noveltynya akan gugur.
Suatu invensi dianggap mengandung langkah infentif. Jika invensi tersebut bagi seseorang yang memiliki keahlian tertentu di bidang teknik bersifat ‘non obvious’ (tidak dapat diduga sebelumnya). Invensi dapat diterapkan dalam industri jika invensi dapat dilaksanakan sesuai uraian dalam permohoman.
Selain ketiga syarat tersebut diatas yang sifatnya ‘world wide’, untuk permintaan paten di Indonesia harus memperhatikan Pasal 7 UU No. 14/2001 bahwa paten tidak dapat diberikan untuk invensi tentang :
  1. Proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum atau kesusialaan.
  2. Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan atau pembedahan yang diterapkan terhadap terhadap manusia dan atau hewan.
  3. Teori dari metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika,
 Pada prinsipnya “Pemegang paten wajib membuat produk atau menggunakan proses yang diberi paten di Indonesia, kecuali jika hal itu hanya layak dilakukan secara regional, asalkan disertai permohonan tertulis kepada yang berwenang (Pasal 17 UU No. 14/2001). Ketentuan ini dimaksudkan agar terjadi alih teknologi (lebih-lebih jika pemegang paten adalah inventor asing).
Perjanjian lisensi merupakan hal yang krusial untuk dikaji. Lisensi yaitu izin yang diberikan oleh pemegang hak kekayaan intelektual kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu hak yang diberikan perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu
Dalam pasal 71 UU No. 14 / 2001 dinyatakan bahwa perjanjian lisensi  dilarang.
a.       memuat ketentuan yang baik langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian Indonesia.
b.      memuat pembatasan-pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan inovasi yang diberi paten pada khususnya.
Perbuatan yang mewajibkan lisensi untuk membeli bahan baku pada pihak yang ditunjuk licensor dengan dalih menjaga kualitas produk adalah tie-in restriction. Sedangkan lisensi yang mengandung grant back provision adalah memuat ketentuan bahwa :” setiap perbaikan, inovasi atau pengembangan terhadap invensi yang dilisensikan oleh licensee memberikan hak bagi licensor untuk menggunakan invensi tersebut”.
Lebih lanjut dalam Pasal 72 UU No. 14 / 2001 ditetapkan: ”Setiap perjanjian lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya. Dalam hal perjanjian lisensi tidak dicatat di Dirjen HKI, tidak mempunyai akibat hukum bagi pihak ketiga”. Pencatatan perjanjian lisensi adalah wujud campur tangan yang diperkenankan dalam Pasal 40 UU No. 14 / 2001. Persetujuan TRIPS guna melindungi posisi licensee yang umumnya ditengarai memiliki posisi  yang lemah.  Ketentuan ini  mencegah penyalahgunaan  hak paten oleh licensor ( terlebih foreign licensor) dan kesemua itu untuk kontribusi perekonomian nasional. Selain itu pencatatan berfungsi untuk mengetahui jumlah dan bentuk invensi yang telah di lisensikan agar dapat diproyeksikan oleh teknologi masa depan.
Dengan pertimbangan yang sama beberapa negara, seperti Mexico dalam hukum Mexico adalah : ”Jika perjanjian lisensi tidak didaftarkan, maka perjanjian tersebut tidak menimbulkan ‘legal effect’, tidak diakui oleh public authority dan pengadilan, serta yang tidak kalah penting royalty atas perjanjian lisensi yang bersangkutan tidak dapat dipotongkan atas pajak penghasilan”. Di Indonesia dalam praktek 80% perjanjian lisensi tidak didaftarkan dengan dalih bahwa perjanjian adalah ‘privity of contract’, yang dibentuk atas dasar ‘freedom of contract’. Alasan sesungguhnya adanya keengganan dua pihak untuk membayar biaya pendaftaran. Kepentingan pendaftaran muncul manakala terjadi sengketa.
Masalah alih teknologi dapat juga  melalui perjanjian lisensi  wajib yang  tertuang dalam Pasal 74 sampai dengan 87 UU No. 14 / 2001. Alasan lisensi wajib ada 2 (dua) :
  1. Jika paten atas suatu invensi tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh pemegang paten dalam waktu 36 (tiga puluh enam bulan) terhitung sejak tanggal pemberian paten (Pasal 75)
  2. Jika sewaktu-waktu ternyata pelaksanaan paten suatu pihak ternyata tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melanggar paten lain yang telah ada.
Alasan (a) terkait dengan ketentuan kewajiban pelaksanaan paten di Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal 17 tersebut diatas. Sedangkan alasan (b) Memungkinkan terjadinya  cross licensing yang saling menguntungkan antara pemilik paten  dengan penerima lisensi wajib. Permohonan lisensi wajib diajukan kepada Dirjen HKI disertai bukti :
  1. pemohon mempunyai kemampuan untuk melaksanakan sendiri patennya secara penuh
  2. mempunyai fasilitas untuk melaksanakan paten tersebut
  3. telah mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang cukup untuk mendapat lisensi (sukarela) dari pemegang paten atas dasar persyaratan dengan kondisi yang wajar tetapi tidak memperoleh hasil. Lisensi wajib akan diberikan jika paten tersebut dapat dilaksanakan dalam skala yang layak dan memberikan manfaat kepada sebagian besar masyarakat.



       [1] Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Lisensi, Jakarta: PTRaja Grafindo Prasada, 2001, hal. 95
       [2] Endang Purwaningsih, Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005, hal. 141
       [3] Koh Kuneida, Transfer Tecnology and Licensing, JIII/AOTS, 2003, Hal. 4-9
       [4] Gunawa Djaja, Op, Cit, hal 98-100
       [5] Ita Gambiro, Aspek-Aspek Hukum dan Pengalihan teknologi, BPHN, tahun 1978
[6]

2 komentar:

  1. Terimah kasih atas artikelnya, penambah wawasan

    Saya imam haryadi dari atmaluhur
    Kunjungi website kampus saya https://www.atmaluhur.ac.id

    BalasHapus
  2. Terimakasih kak informasi nya semoga bermanfaat untuk tugas kuliah sy (1)

    Hy saya sastra heriawan 1722500022 mhs https://www.atmaluhur.ac.id

    BalasHapus