2.1.Sejarah Kemunculan Asy’ari
Aliran Al-Asy’ariyah dibentuk oleh Abu Al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 873 Masehi dan wafat pada tahun 935 Masehi. Beliau masih keturunan Abu Musa Al-Asy’ari, seorang duta perantara dalam perseteruan pasukan Ali dan Mu’awiyah. Namun sebagian besar kehidupannya beliau habiskan di Baghdad.[1]
Beliau adalah salah satu keluarga dari Abu Musa Al- Asy’ari. Asy'ari sempat berguru pada guru Mu'tazilah terkenal, yaitu al-Jubba'i. Beliau hidup sekitar satu abad setelah Imam al-Syafi'i (wafat pada 204 H./819 M.), atau setengah abad setelah al-Bukhari (wafat pada 256 H./870 M.) dan hidup beberapa belas tahun sezaman dengan pembukuan hadits yang terakhir dari tokoh yang enam, yaitu al-Tirmidzi (wafat pada 279 H./892 M.). Dengan kata lain, al-Asy'ari tampil pada saat-saat konsolidasi paham Sunnah di bidang hukum atau fiqh, dengan pembukuan hadits yang menjadi bagian mutlaknya, telah mendekati penyelesaian. Namun pada tahun 912 beliau mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal sebagai Asy'ariah. Dan penampilan al-Asy'ari membuat lengkap sudah konsolidasi paham Sunnah itu, yaitu dengan penalaran ortodoksnya di bidang keimanan atau 'aqidah. Banyak tokoh pemikir Islam yang mendukung pemikiran-pemikiran dari imam ini, salah satunya yang terkenal adalah "Sang hujatul Islam" Imam Al-Ghazali, terutama di bidang ilmu kalam, ilmu tauhid, ushuludin.[2]
Karena tidak sepaham dengan gurunya dan ketidak puasannya terhadap aliran Mu’tazilah, walaupun ia sudah menganut paham Mu’tazilah selama 40 tahun, maka ia membentuk aliran yang dikenal dengan namanya sendiri pada tahun 300 Hijriyah.
Ketidak-puasan Al-Asy’ari terhadap aliran Mu’tazilah diantaranya adalah :
1. Karena adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar dari paham Mu’tazilah.
Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah, misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
2. Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran yang diperoleh dari Al-Juba’i, menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan, misalnya tentang mukmin, kafir dan anak kecil.
Puncak perselisihan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam masalah keadilan Tuhan adalah ketika Mu’tazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan Asy’ariyah, bahwa jika keadilan mencakup ikhtiar, baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan dengan tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-Esaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al) bahkan bertentang dengan ke-Esaan Tuhan itu sendiri. Karena ikhtiar menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari Dzat-Nya.
2.2.Hakekat Pahala dan Siksa Menurut Ajaran Asy’ariyah
Mu’tazilah berpendapat bahwa pahala wajib Allah berikan kepada hamba-Nya sebagai imbalan atas amal yang dilakukannya. Mereka memandang bahwa suatu amal perbuatan lebih besar nilainya daripada nikmat. Mereka menganggap bahwa pahala wajib diberikan kepada Allah kepada mereka. Bila tidak demikian, mereka menganggap bahwa ini merupakan suatu keburukan bagi Allah. Padahal apa yang terjadi dengannya bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan sekian banyak nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Firmannya:
Nä39s?#uäur `ÏiB Èe@à2 $tB çnqßJçGø9r'y™ 4 bÎ)ur (#r‘‰ãès? |MyJ÷èÏR «!$# Ÿw !$ydqÝÁøtéB 3 žcÎ) z`»|¡SM}$# ×Pqè=sàs9 Ö‘$¤ÿŸ2 ÇÌÍÈ
“Dan dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”(Qs.Al-Ibrahim:34)
Masuk surga bukanlah ganti-rugi dari amal shalih, karena perhitungan masalah harga dan ganti-rugi hanya berlaku antar sesama mahluk,tidak berlaku bagi Allah.melainkan merupakan sebab atau karena melakukan amal shalih,dan pahala murni merupakan karunia dan rahmat dari Allah SWT.
Ibnu Qayyim dalam berkata dalam Miftah Dar As-Sa’adah(2/92:): Amal shalih merupakan karena sebab, bukan sebagai harga atau imbalan dari suatu perbuatan.yang dinafikan Nabi dalam hadist di atas adalah adanya ganti rugi (timbal balik) tersebut.[3]
Adapun siksaan,maka itu murni keadilan Allah SWT. Dosa terbesar di muka bumi ini adalah syirik, karna itulah Allah tidak mengampuninya. Sedangkan selain syirik, maka pelakunya berhak mendapatkan siksa,yakni:apabila Allah berkehendak, maka Dia akan menyiksanya,dan bila Dia berkehendak,maka akan mengampuninya.
Ini berbeda dengan paham mu’tazilah yang berpendapat bahwa penerapan siksa merupakan hal yang wajib baginya,dan bahwasanya orang yang masuk neraka karema suatu dosa selamanya tidak akan keluar dari sana.karena itulah mereka mengingkari suatu syafaat.mereka mengatakan bahwa apabila pelaku maksiat tidak di siksa,itu merupakan penyamaan dengan orang yang taat.pendapat ini tidak benar, karena menyamakan antara tidak adanya siksa dengan ampunan dan rahmat Allah. Ini adalah perbuatan (Allah) yang baik ketika di lakukan taubat nasuha di dunia (oleh manusia), demikian pula ketika ada perasaan tubuh yang sangat kepada-Nya pada hari kiamat.
Jadi, semua perbuatan Allah adalah baik dan terpuji.apabila ampunan adalah sifat yang baik pada manusia,maka ia lebih berhak dal lebih patut oleh Allah Azza wa Jalla, demikian pula dengan penepatan janji.
Allah SWT tidak semena-mena menyiksa manusia bisa karena Dia berkuasa dan berkehendak sehingga biasa melakukan apa saja yang Dia kehendaki, sebagaimana yang telah di katakana oleh jahmiyah, jabariyah dan selain mereka, akan tetapi mereka di siksa karena rmemang mereka berhak mendapatkan itu (akibat kesalahan mereka). Seandainya Dia mengampuni mereka,maka rahmatNya merupakan anugrah dan karuniaNya, bukan karena ganti rugi atau timbal balik dari perbuatan mereka.
2.3.Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.[4]
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
2.4.Tokoh-Tokoh dan Ajaran-Ajaran Asy’ariyah
1. Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqillani.
Ia adalah tokoh Asy’ariyah yang mendapat ajaran-ajaran Al-Asy’ari dari dua murid Al-Asy’ari, yaitu Ibn Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahili.. beliau wafat di Bagdad pada tahun 1013 Masehi.
Ajaran-ajaran yang disampaikannya tidak selalu selaras dengan ajaran Al-Asy’ari, misalnya bahwa sifat Allah itu bukan sifat melainkan hal. Selanjutanya ia juga tidak sepaham dengan Al-Asy’ari mengenai perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciftakan Tuhan seluruhnya, sedangkan menurut Al-Baqillani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
Pernyataan-pernyataannya mengarah pada extrim, dalam mengikuti suatu pendapat dan dalam memberikan dukungan dan pembelaan, sebab premis rasional tidak pernah disebutkan dalam al-Qur’anmaupun sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Metode yang ditempuhnya juga banyak. Boleh saja seseorang sampai kepada bukti-bukti dari berbagai penalaran akal dan menghasilkan berbagai konklusi melalui berbagai eksperimen yang tidaklah buruk selama tidak bertentangan dengan konklusi yang dicapainya dan pemikiran yang dihasilkannya.
2. Abd al-Malik al-Juwaini
Beliau lahir di Khurasan tahun 419 Hijriyah dan wafat pada tahun 478 Hijriyah. Namanya aslinya tidak begitu dikenal malah ia terkenal dengan nama Iman Al-Haramain.
Hampir sama dengan Al-Baqillani, ajaran-ajaran yang disampaikannya banyak yang bertentangan dengan ajaran Al-Asy’ari. Misalnya Tangan Tuhan diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan, sedangkan mengenai Tuhan duduk diatas takhta kerajaan diartikan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.
Mengenai soal perbuatan manusia, ia mempunyai pendapat yang lebih jauh dari Al-Baqillani. Daya yang ada pada manusia itu mempunyai efek, tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan manusia tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya itu bergantung pada sebab yang lain dan wujud sebab itu bergantung pula pada sebab yang lain dan demikianlah seterusnya hingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
3. Abu Hamid al-Ghazali
Beliau adalah murid dari Abd al-Malik al-Juwaini yang lahir pada tahu 1058-1111 Masehi.
Paham teologi yang dianutnya tidak jauh berbeda dengan paham-paham Al-Asy’ari. Dia mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan dzat Tuhan dan mempunyai wujud diluar dzat. Juga Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat lebih menyerupai impotensi.
Selanjutnya ia-pun menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, sebab setiap yang mempunyai wujud dapat dilihat. Selanjutnya ajaran yang disampaikannya adalah penolakan tentang paham keadilan yang diajarkan oleh Mu’tazilah. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemashlahatan (al-salah wa al-ashlah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran kepada manusia atas perbuatan-perbuatannya, bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tidak mungkin dikerjakan manusia.
PENUTUP
Kesimpulan
Paham Asy’ari belum mampu menawarkan ideology alternative dalam upaya mengubah umat dan menggerakkan roda peradaban islam ke ambang kecerahan sehingga mampu menjajarkan dirinya dengan peradaban-peradaban yang lebih maju. Kita sering beranggapan bahwa bagaimana usaha manusia dalam berfikir dan menganalisa fenomena-fenomena alam. Manusia harus menanti dan menunggu ilmu yang datang dari sumber lain, berupa ilham, wangsit dsb. Sangat tidak logis bila kita membatasi kapabilitas akan manusia dan meletakkannya dibawah kekuasaan naqli (teks-teks suci) dalam konteks masyarakat masih mengalami krisis intelektual dan rasionalitas.
Demikian ulsan yang sederhana yang pada intinya mengajak kepada seluruh pembaca untuk tetap tanggap dan kritis terhadap seluruh bentuk ijtihad dan ideology yang diwariskan oleh sejarah pemikiran islam, pada khususnya malah yang berkaitan dengan akidah (ideologi).
DAFTAR PUSTAKA
Abed, Muhammad, Nalar Filsafat dan Teologi islam, Ircisod: Yogyakarta,1998.
Ali, Abu Abdurrahman, Qadha dan Qadar Dalam Pandangan Ulama Shalaf, Pustaka Azzam: Jakarta,2005.hlm,283
Aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, www.indiaonech.com, 02 Januari 2009.
Kekuatan dan kelemahan paham Asy’ari, www.sikaktenan.blogspot.com, 30 Maret 2009.
Oggix, Ilmu Kalam, www.oggix.blogspot.com, 02 Maret 2009.
[1] Aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, www.indiaonech.com, 02 Januari 2009.
[2]Kekuatan dan kelemahan paham Asy’ari, www.sikaktenan.blogspot.com, 30 Maret 2009.
[3] Ali, Abu Abdurrahman, Qadha dan Qadar Dalam Pandangan Ulama Shalaf, Pustaka Azzam: Jakarta,2005.hlm,283
[4] Oggix, Ilmu Kalam, www.oggix.blogspot.com, 02 Maret 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar