Apabila seorang muslim
memiliki tanah pertanian, sebaiknya dia memanfaatkan tanah tersebut dengan
hal-hal yang memberikan manfaat. Salah satunya misalnya dengan bercocok tanam.
Islam tidak menyukai dikosongkannya tanah pertanian itu, sebab hal tersebut
berarti menghilangkan nikmat dan membuang-buang harta, sedang Rasulullah SAW
melarang keras disia-siakannya harta. Pemilik tanah ini dapat memanfaatkannya
dengan berbagai cara. Baik dengan ditanami sendiri atau pun dengan bekerjasama
dengan pihak lain.
Kemungkinan pertama
adalah dengan diurus sendiri. Pemilik lahan dengan tenaganya sendiri atau
membayar upah karyawan menanami lahannya tumbuh-tumbuhan atau ditaburi benih
kemudian disiram dan dipelihara. Begitulah sampai keluar hasilnya. Cara semacam
ini adalah cara yang terpuji, di mana pemiliknya akan mendapat pahala dari
Allah karena tanamannya itu bisa dimanfaatkan oleh manusia, burung dan binatang
ternak. Kebanyakan sahabat Anshar adalah hidup bercocok-tanam. Mereka urus
sendiri tanah-tanah mereka itu. Dalam hal ini dia bekerja sendiri atau hanya
satu pihak. Sedangkan pembantunya adalah karyawan atau buruh yang dibayar
tenaganya saja.
Sedangkan cara lainnya
agar sebuah lahan itu tidak dibiarkan saja menganggur adalah meminjamkan
tanahnya itu kepada orang lain yang mampu mengurusnya dengan bantuan alat,
bibit ataupun binatang untuk mengolah tanah, sedang dia samasekali tidak
mengambil hasilnya. Kecuali berharap pahala dari Allah SWT. Dengan cara
demikian, dia telah memberikan jalan kepada orang lain untuk mendapat rizki.
Dan cara seperti ini adalah salah satu bentuk shadaqah jariah. Cara semacam ini
sangat dianurkan oleh Islam.
Abu Hurairah
meriwayatkan, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut, Barangsiapa
memiliki tanah, maka tanamilah atau berikan kepada kawannya.
Dari Jabir ia. berkata,
Kami biasa menyewa tanah dengan mendapatkan sebagai dari hasil , kemudian kami
mendapat hasil tanah itu begini dan begini. Maka sabda Nabi:, Barangsiapa
memiliki tanah, maka tanamilah sendiri atau suruhlah saudaranya untuk
menanaminya, kalau tidak, tinggalkanlah.
Sungguh salah seorang
di antara kamu akan memberikan tanahnya kepada kawannya, lebih baik daripada
dia mengambil atas tanahnya itu hasil yang ditentukan. Cara ketiga ialah dengan cara muzara’ah,
yaitu pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak
menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah
ditentukan, misalnya: 1/2, 1/3 atau kurang atau lebih menurut persetujuan
bersama. Boleh juga si pemilik tanah itu membantu kepada yang hendak menaminya
berupa bibit, alat atau hewan. Cara seperti ini disebut: muzara’ah, musagaat
atau mukhabarah.
Dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim diterangkan, bahwa Rasulullah s.a.w.
menyewakan tanah kepada penduduk Khaibar dengan perjanjian separuh hasilnya
untuk pemilik tanah. Hadis ini diriwayatkan oleh beberapa orang sahabat, di
antaranya: Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah.
Hadis ini dijadikan
alasan oleh orang yang membolehkan muzara’ah; dan mereka berkata: Muzara’ah
adalah perkara yang baik dan sudah biasa berlaku, yang juga dikerjakan oleh
Rasulullah s,a.w. sampai beliau meninggal dunia, kemudian dilanjutkan oleh
Khulafaur Rasyidin sampai mereka meninggal dunia. Dan kemudian diikuti oleh
orang-orang sesudahnya. Sehingga tidak seorang pun ahli bait Nabi di Madinah
yang tidak mengerjakan hal ini. Dan begitu juga isteri-isteri Nabi s.a.w.
sepeninggal beliau.
A.
Pengertian muzara’ah
Secara bahasa, muzaraah
berarti muamalah atas tanah dengan sebagian yang keluar sebagian darinya. Dan
secara istilah muzara’ah berarti memberikan tanah kepada petani agar dia
mendapatkan bagian dari hasil tanamannya. Misalnya sepertiga, seperdua atau lebih
banyak atau lebiih sedikit dari itu.
B. Dasar
Pensyari’atan
Muzara’ah adalah salah
satu bentuk ta’awun antar petani dan pemilik sawah. Serigkali kali ada orang
yang ahli dalam masalah pertanian tetapi dia tidak punya lahan, dan sebaliknya
banyak orang yang punya lahan tetapi tidak mampu menanaminya. Maka Islam
mensyari’atkan muzara’ah sebagai jalan tengah bagi keduanya.
Itulah yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah dan mentradisi di tengah para sahabat dan kaum
muslimin setelahnya. Ibnu ‘abbas mencerikana bahwa Rasululah saw bekerja sama
dengan penduduk Khaibar untuk berbagi hasil atas panenan, makanan dan
buah-buahan. Bahkan Muhammad Albakir bin Ali bin Al-Husain mengatakan bahwa
tidak ada seorang muhajirin yang berpindah ke Madinah kecuali mereka bersepakat
untuk membagi hasil pertanian sepertiga atau seperempat.
Para sahabat yang
tercatat melakukan muzara’ah antara lain adalah Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin
Malik, Abdullah bin Mas’ud dan yang lainnya. Bahkan Umar bin Abdul Aziz pun
yang hidup di masa berikutnya memiliki pemasukan dari bagi hasil.
C. Pendapat
yang Melarang
Dan telah datang satu
masalah dalam hal ini, yaitu munculnya hadis tentang muzara’ah dari Rafi’ bin
Khudaij yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah melarang dilakukannya
muzara’ah setelah sebelumnya ia memperbolehkannya, dengan dalil hadis yang
menceritakan bahwa telah datang kepada Rasulullah dua orang yang berselisih
tentang muzara’ah yang mereka lakukan hingga menjadikan mereka berusaha untuk
saling membunuh, maka untuk permasalahan mereka ini Rasulullah berkata bahwa
kalau demikaian halnya yang terjadi maka sebaiknya mereka tidak melakukannya .
Zaid bin Tsabit
meriwayatkan, bahwa ada dua orang yang sedang bertengkar tentang masalah tanah,
kemudian mengadukannya kepada Nabi, maka jawab Nabi, Kalau ini persoalanmu,
maka janganlah kamu menyewakan tanah.
Jadi masing-masing dari
pemilik tanah dan penyewa, harus ada sikap toleransi yang tinggi. Misalnya si
pemilik tanah jangan minta terlalu tinggi dari hasil tanahnya itu. Begitu juga
sebaliknya si penyewa jangan merugikan pihak pemilik tanah.
Dan pendapat yang
mengatakan bahwa hukum muzara’ah ini termasuk akad yang terlarang telah
dibantah oleh Zaid bin Tsabit dengan mengatakan bahwa ia lebih mengetahui
tentang hadits Rasulullah dari pada Rafi’ bin Khudaij. Lebih lanjutnya dia
menjelaskan bahwa banyak sahabat Nabi yang melakukan muzara’ah. Dengan adanya
bantahan dari Zaid ini, maka telah jelas bahwa tidak ter jadi nasakh dalam
hukum diperbolehkannya muzara’ah.
Ibnu Abbas ra. meriwayatkan
bahwa larangan Rasulullah SAW tentang muzara’ah dalam hal ini bersifat
kasuistik, di mana beliau memandang bahwa orang tersebut kurang tepat dalam
melakukan akad muzara’ah, sehingga larangan itu bukan berarti melarang hukummuzara’ah secara hukum, melainkan arahan beliau kepada orang seseorang tertentu
untuk menggunakan sistem lain yang lebih tepat.
من كانت له أرض فليزرعها أو بيمنحها أخاه فإن
أبى فليمسك أرضه - رواه البخاري ومسلم
“Siapa yang punya lahan, hendaklah
ditanaminya atau diberikannya kepada saudaranya. Namun bila dia menolak,
hendaklah dia mengambil tanahnya.”
ما كنا نرى في المزارعة بأسا حتى سمعت رافع
بن خديج يقول: إن رسول الله نهى عنها، فذكرت لطاوس فقال: قال لي أعلمهم إن رسول الله
لم ينه عنها ولكن قال: لأن يمنح أحدكم أرضه خير من أن يأخذ عايها خراجا معلوما - رواه
الخمسة
“Kami tidak memandang bahwa di dalam
muzara’ah itu ada larangan, hingga aku mendengar Rafi’ bin Khudaij berkata
bahwa Rasulullah SAW melarangnya. Maka aku bertanya kepada Thawus dan beliau
berkata, Orang yang paling mengerti dalam masalah ini telah memberitahukan ku ,
Sesunguhnya Rasulullah SAW tidak melarang muzara’ah, beliau hanya berkata,
Memberikan tanah kepada seseorang lebih baik dari pada meminta pajak tertentu.”
D.
Bentuk Muzara’ah yang Terlarang
Muzara’ah dibenarkan
apabila disepakati pembagian hasil antara pemilik lahan dengan tenaga petani.
Misalnya, petani mendapat 60% dari nilai total hasil panen, sedangkan pemilik
lahan mendapat 40% sisanya. Bentuk seperti ini dihalalkan dan telah dicontohkan
oleh Nabi Muhammad SAW dan para shahabat hingga generasi berikutnya.
Adapun bentuk muzara’ah
yang diharamkan adalah bila bentuk kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari
luas 1.000 m persegi yang disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak
atas tanaman yang tumbuh di area 400 m tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani
berhak atas hasil yang akan didapat pada 600 m tertentu.
Perbedaannya dengan
bentuk muzara’ah yang halal di atas adalah pada cara pembagian hasil. Bentuk
yang boleh adalah semua hasil panen dikumpulkan terlebih dahulu, baru dibagi
hasil sesuai prosentase. Sedangkan bentuk yang kedua dan terlarang itu, sejak
awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 400 m dan 600 m. Buruh tani
berkewajiban untuk menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di
600 m itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi
yang 400 m, menjadi hak pemilik lahan.
Cara seperti ini adalah
cara muzaraah yang diharamkan. Inti larangannya ada pada masalah gharar. Sebab
boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan
yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen
di lahan yang 600 m itu gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka yang benar
adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan terlebih dahulu, setelah itu
baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian prosentase.
Bentuk muzara’ah yang
terlarang ini adalah seseorang memberikan persyaratan kepada orang yang
mengerjakan tanahnya; yaitu dengan ditentukan tanah dan sewanya dari hasil
tanah baik berupa takaran ataupun timbangan. Sedang sisa daripada hasil itu
untuk yang mengerjakannya atau masih dibagi dua lagi misalnya.
Rasulullah SAW
menetapkan keadilan dalam masalah ini, yaitu kedua belah pihak bersekutu dalam
hasil tanah itu, sedikit ataupun banyak. Tidak layak kalau di satu pihak
mendapat bagian tertentu yang kadang-kadang suatu tanah tidak menghasilkan
lebih dari yang ditentukan itu. Dalam keadaan demikian, maka pemilik tanah
berarti akan mengambil semua hasil, sedang di lain pihak menderita kerugian
besar. Dan kadang-kadang pula, suatu tanah yang ditentukan itu tidak
menghasilkan apa-apa, sehingga dengan demikian dia samasekali tidak mendapat
apa-apa, sedang di lain pihak memonopoli hasil.
Oleh karena itu
seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan
suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua
belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun
akan mendapat sedikit pula. Dan kalau samasekali tidak menghasilkan apa-apa,
maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan jiwa
kedua belah pihak.
Diriwayatkan dari jalan
Rafi’ bin Khadij, ia berkata: Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah
melakukan muzara’ah, kami menyewakan tanah, satu bagian daripadanya ditentukan
untuk pemilik tanah… maka kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu
musibah sedang tanah yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu
ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang. .
Di zaman Nabi orang-orang
biasa menyewakan tanah yang dekat sumber dan yang berhadapan dengan parit-parit
dan beberapa macam tanaman, maka yang ini rusak dan yang itu selamat; yang ini
selamat dan yang itu rusak, sedang orang-orang tidak melakukan penyewaan tanah
kecuali demikian, oleh karena itu kemudian dilarangnya.
Rasulullah s.a.w.
bertanya kepada para sahabat, Apa yang kamu perbuat terhadap tanam-tanamanmu
itu? Mereka menjawab:, Kami sewakan dia dengan 1/4 dan beberapa wasag dari
korma dan gandum. Maka jawab Nabi, Jangan kamu berbuat demikian.
Maksud hadis ini, yaitu mereka
menetapkan ukuran tertentu yang mereka ambilnya dari hasil tanah itu, kemudian
membagi sisanya bersama orang-orang yang menanaminya, untuk ini 1/4 dan untuk
itu 3/4 misalnya.
Dari sini pula kita
dapat mengetahui, bahwa Nabi sangat berkeinginan untuk mewujudkan keadilan
secara merata dalam masyarakatnya, serta menjauhkan semua hal yang menyebabkan
pertentangan dan perkelahian di kalangan masyarakat Islam.
E.
Penyewaan Lahan
Semua yang kita
bicarakan di atas adalah akad kerja sama atau bagi hasil atas suatu lahan
pertanian. Hukumnya boleh asalkan tidak ada gharar.
Adapun bentuk lain dari
pemanfaatan lahan adalah penyewaan lahan untuk jangka waktu tertentu. Akadnya
bukan bagi hasil melainkan sewa tanah untuk digarap selama jangka waktu
tertentu.
Misalnya seorang
pemilik sawah yang punya lahan banyak bersepakat dengan pengusaha agrobisnis
untuk mengadakan perjanjian sewa lahan. Cara ini bisa jadi lebih memudahkan,
karena seberapapun hasil panen, tidak perlu dibagi dua. Yang penting, pengusaha
agro bisnis itu sudah mengontrak lahan untuk jangka waktu tertentu. Misalnya
untuk masa 10 tahun. Maka semua hasil pertanian di lahan tersebut selama masa
10 tahun menjadi hak penguasa tersebut. Namun sejak awal, penguasaha itu harus
sudah menyepakati harga sewa menyewa lahan sesuai dengan permintaan pemiliknya.
Cara seperti ini di
satu sisi bisa menguntungkan kedua belah pihak. Si pengusaha yang ahli sejak
awal bisa memperhitungkan keuntungan besar dan tidak harus dibagi dengan pihak
lain. Selain itu cara seperti ini juga memudahkan penghitungan. Di sisi lain,
pemilik lahan pun akan diuntungkan, karena sejak awal sudah ada pemasukan uang
yang pasti dan biasanya sewa menyewa itu dibayarkan di awal. Bentuk penyewaan
lahan ini kalau dikembangkan, bisa saja tidak terbatas pada lahan pertanian,
tetapi lahan usaha, perkantoran, rumah tinggal dan seterusnya.
dddd
BalasHapus