Perbedaan prinsip yang
dengan mudah dapat dikenali untuk membedakan sistem bagi hasil pada sistem ekonomi syari’ah dan sistem bunga pada sistem ekonomi konvensional adalah pada
sistem return bagi nasabahnya. Bank konvensional, sistem return-nya adalah sistem
bunga yaitu persentase terhadap dana yang disimpan ataupun dipinjamkan dan
ditetapkan diawal transakasi sehingga berapa nilai nominal rupiahnya akan dapat
diketahui besarnya dan kapan akan diperoleh dapat dipastikan tanpa melihat laba
rugi yang akan terjadi nanti. Bank syari’ah sistem return-nya adalah sistem bagi hasil (profit loss sharing) yaitu nisbah (persentase bagi hasil) yang
besarnya ditetapkan diawal transaksi yang bersifat fixed tetapi nilai nominal
rupiahnya belum dapat diketahui dengan pasti melainkan melihat laba rugi yang
akan terjadi nanti.
Pada bank konvensional,
nasabah akan menerima atau membayar return bersifat fixed yang disebut bunga.
Bagi nasabah penabung akan mendapatan bunga yaitu persentase terhadap dana yang
ditabung sedangkan bagi nasabah peminjam (debitur) akan membayar bunga yaitu
persentase terhadap dana yang dipinjam oleh nasabah. Bank syari’ah, nasabah
akan menerima atau membayar return bersifat tidak fixed yang disebut bagi
hasil. Bagi penabung akan menerima bagi hasil yaitu persentase terhadap hasil
yang diperoleh dari dana yang ditabung oleh nasabah yang kemudian dikelola oleh
pihak bank. Peminjam (debitur) akan membayar bagi hasil yaitu persentase
terhadap hasil yang diperoleh dari dana yang dipinjam oleh nasabah yang kemudian
dikelolanya.
Bunga yang diterapkan
pada sistem ekonomi konvensional harus tetap dibayarkan oleh pihak bank kepada
nasabah walaupun bank tidak mendapatkan keuntungan atau dalam keadaan yang
bagaimanapun bunga harus dibayarkan tidak melihat apakah laba atau rugi. Bagi
debitur juga harus membayar tingkat bunga yang telah disepakati baik dalam
kondisi laba maupun rugi. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem perbankan
syari’ah yang menerapkan sistem bagi hasil, pada kondisi terjadi laba maka akan
membayar tingkat persentase bagi hasil yang telah disepakati, dalam kondisi
impas tidak ada pembayaran dan pada kondisi mengalami kerugian maka kerugian
tersebut juga dibagi bersama antara nasabah dengan pihak bank. Dalam perbankan
syari’ah hubungan antara nasabah dengan bank adalah dalam bentuk kemitraan.
Sistem syari’ah tidak
ada yang dieksplotasi dan tidak ada yang mengeksploitasi, risiko yang merupakan
kondisi yang tidak pasti dimasa akan datang ditanggung bersama dan apabila
mendapat keuntungan yang tinggi juga dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan
diawal. Mengapa demikian? Karena, ekonomi syari’ah melarang sesuatu (misalnya
laba atau rugi) yang tidak pasti dimasa akan datang dibuat pasti dan ditentukan
pada saat sekarang. Disi lain juga melarang sesuatu yang sudah pasti dibuat
menjadi tidak pasti agar dapat melakukan spekulasi atau mengambil keuntungan
untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan atau merusak perekonomian secara
umum.
Pada sistem perbankan
konvensional dapat terjadi eksploitatori, predatori dan intimidasi. Kapan
terjadi eksloitasi, predatori dan intimidasi? Eksploitasi dapat terjadi pada
saat tingkat bunga tinggi dan tingkat bunga rendah. Pada saat suku bunga tinggi
yang dieksploitasi adalah debitur dan ini umumnya terjadi pada kondisi ekonomi
sedang berkinerja buruk. Pada kondisi ini debitur mendapat keuntungan yang
rendah atau bahkan mengalami kerugian tetapi tetap diharuskan membayar bunga
yang tinggi. Pada kondisi buruk ini dapat terjadi proses predatori (yang kuat
memakan yang lemah) dan intimidasi (memaksa membayar bunga walaupun tidak
memungkinkan) kepada debitur. Pada kondisi kinerja ekonomi membaik umumnya suku
bunga rendah maka pada kondisi ini pihak krediturlah yang dieksploitasi,
debitur mendapat keuntungan yang tinggi tetapi krediur hanya mendapat bagian
(bunga) yang rendah.
Praktek sistem bunga
baik pada kondisi ekonomi baik maupun buruk telah terjadi ketidak adilan dalam
pembagian hasil atau dengan kata lain terjadi eksploitatori, predatori dan
intimidasi, ketiga karakteristik inilah yang merupakan sifat dasar dari ribawi.
Oleh karena itu sudah sepantasnyalah ribawi itu dihapuskan dari sistem
perekonomian karena hanya akan menciptakan inefisiensi dan instabilitas dalam
perekonomian.
Bagi Hasil (mudharabah), Tahan Banting
Dari fakta pada industri
perbankan dalam menghadapi krisis tahun 1997 lalu, bank yang mampu tetap stabil
adalah bank dengan sistem bagi hasil. Banyak bank-bank konvensional yang kolaps
dan harus di merger agar neraca keuangannya stabil kembali. Hal tersebut
disebabkan tidak adanya kewajiban bagi bank dengan sistem bagi hasil ini untuk
menambah simpanan nasabah karena seperti yang jamak diketahui, sulit pada masa
tersebut bagi debitor (yang meminjam dana) untuk menghasilkan keuntungan yang
besar.
Selain itu, bank dengan
sistem bagi hasil ini lebih selektif dalam memilih debitor. Selain itu, bank
dengan system bagi hasil tidak ‘bermain-main’ pada instrumen kapitalis yang
labil dan tidak real, seperti perdagangan saham dan berspekulasi pada nilai
tukar mata uang. Hal tersebut sangat berbeda dengan bank-bank konvensional yang
cenderung suka dengan sesuatu yang instan.
Dengan melihat satu
aspek kecil dalam tataran aturan dari ‘langit’, maka patutlah kita memikirkan
perkataan Allah yang mempertanyakan pertanyaan retorika ini “Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (al Maidah:50).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar