a.
Pengertian Al-Maslahah Al-Mursalah
Secara etimologi,
maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga
berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Secara terminologi, terdapat beberapa
definisi maslahah yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi
tersebut mangandung esensi yang sama. Imam Al-Ghazali, mengemukakan bahwa pada
prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam
rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.”
Tujuan syara’ yang
harus dipelihara tersebut, menurut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu: memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu
perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di
atas, maka dinamakan maslahah. Di samping itu, upaya untuk menolak segala
bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut,
juga dinamakan maslahah.
Dengan demikian,
al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar
dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Sedangkan alasan dikatakan
al-mursalah, karena syara’ memutlakannya bahwa di dalamnya tidak terdapat
kaidah syara’ menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.
b.
Macam-Macam Al-Maslahah Al-Mursalah
Para ahli ushul fiqh
mengemuakkan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi. Dilihat
dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqh
membaginya kepada tiga macam, yaitu:
1. Maslahah al-Dzaruriyyah, yaitu
kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan
di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu
1.) memelihara agama, 2.) memelihara
jiwa, 3.) memelihara akal, 4.) memelihara keturunan, dan 5.) memelihara harta.
Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.
2. Maslahah al-Hajiyah, yaitu
kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar)
sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara
kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan
meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir.
3. Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu
kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi
kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi.
Dilihat dari segi
kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh membaginya kepada:
1. Maslahah al-‘Ammah, yaitu
kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya, para
ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat,
karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2. Maslahah al-Khashshah, kemaslahatan
pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan
dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfud).
Dilihat dari segi
berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammad Musthafa al-Syalabi, guru
besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:
1. Maslahah al-Tsabitah, yaitu
kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya,
berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
2.
Maslahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai
dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini
berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adapt kebiasaan.
Dilihat dari segi
keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi kepada:
1.
Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’.
Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan
tersebut.
2. Maslahah al-Mulghah, yaitu
kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan
syara’.
3. Maslahah al-Mursalah, yaitu
kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula
dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk
ini terbagi dua, yaitu: 1.) maslahah al-gharibah, yaitu kemaslahatan yang
asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik
secara rinci maupun secara umum. 2.) maslahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan
yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh
sekumpulan makna nash (ayat atau hadits).
c.
Kehujjahan Al-Maslahah Al-Mursalah
Adapun terhadap
kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai
salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan
penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyyah
mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil
disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits
atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu
merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat
yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi
suatu hukum.
Ulama Malikiyyah dan
Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum,
bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas
menerapkannya. Untuk bisa menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam
menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat,
yaitu:
1. Kemaslahatan itu sejalan dengan
kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara
umum.
2. Kemaslahatan itu bersifat rasional
dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui
maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau
menolak kemudaratan.
3. Kemaslahatan itu menyangkut
kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil
tertentu.
Ulama golongan
Syafi’iyyah, pada dasarnya, juga menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil
syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i, memasukkannya ke dalam qiyas. Ada beberapa
syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan
hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:
1.
Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’
2.
Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’
3. Maslahah itu termasuk ke dalam
kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun
kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Dengan demikian, Jumhur
Ulama sebenarnya menerima maslahah al-mursalah sebagai salah satu metode dalam
mengistinbatkan hukum islam. Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan maslahah
dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:
1. Hasil induksi terhadap ayat atau hadits
menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi manusia.
2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa
dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila
syari’at islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
3. Jumhur Ulama juga beralasan dengan
merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar ibn al-Khathab tidak
memberi bagian zakat kepada para muallaf (orang yang baru masuk islam), karena
menurut ‘Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar