Akhir-akhir ini banyak orang membicarakan tentang arsitektur perbankan nasional baik itu dari para pakar, praktisi perbankan, anggota DPR sampai dengan pejabat bank sentral. Pembicaraan seperti ini sangat wajar mengingat masyarakat sudah lama menantinantikan seperti apa wujud dan bentuk arsitektur perbankan Indonesia itu sendiri. Arsitektur perbankan sebenarnya merupakan istilah baru saja, sebelumnya masyarakat sudah mengenalnya dengan beberapa istilah lain seperti blueprint perbankan, landscape perbankan, stratitifikasi perbankan ataupun pemetaan perbankan nasional. Namun demikian istilah arsitektur perbankan lebih memberikan nuansa yang bersifat lebih komprehensif dan luas mengenai tatanan perbankan yang didinginkan untuk ke depan.
Filosofi dasar arsitektur perbankan indonesia
Arsitektur perbankan indonesia bukan hanya merupakan suatu policy recommendation bagi industri perbankan nasional dalam menghadapi segala perubahan yang terjadi di masa mendatang melainkan juga menjadi policy direction mengenai arah yang harus ditempuh oleh perbankan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Dengan demikian arsitektur perbankan itu merupakan suatu blueprint mengenai tatanan industri perbankan ke depan, bagaimana arah serta bentuknya dan menyangkut hampir semua aspek yang berhubungan dengan perbankan seperti misalnya kelembagaan, struktur, pengawasan, pengaturan dan lembaga penunjang lainnya. Walaupun bersifat policy direction, arsitektur perbankan tersebut juga harus memuat tahapan-tahapan dan langkah-langkah kegiatan (action plans) yang bersifat konkrit mengenai implementasinya. Disamping itu, arsitektur perbankan nasional dapat berfungsi sebagai alat untuk perubahan-perubahan industri perbankan ke depan (as a tool of banking engineering), yang berarti, arsitektur perbankan akan menjadi benchmark, platform maupun sasaran yang akan dituju oleh perbankan nasional. Dengan menjadikan arsitektur perbankan nasional as a tool of banking engineering, diharapkan industri perbankan nasional bersama-sama dengan stakeholders lainnya akan mengetahui bagaimana bentuk dan wujud perbankan kita dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan baik itu dari sisi regulasinya, pengawasan, struktur kelembagan dan sebagainya. Perlunya arsitektur perbankan nasional.Kebutuhan perbankan nasional untuk memiliki suatu blue print mengenai arsitektur perbankan yang bersifat komprehensif sudah waktunya untuk dibuat. Industri perbankan merupakan suatu industri yang bersifat capital intensive dan memiliki risiko usaha yang sangat tinggi, sehingga biaya dari exit policy akan menjadi sangat mahal. Jatuhnya industri perbankan tidak hanya berakibat buruk terhadap sistem perbankan itu sendiri, melainkan juga berpengaruh terhadap kestabilan sektor keuangan secara keseluruhan yang pada akhirnya akan berdampak langsung terhadap kelangsungan sektor riil. Runtuhnya industri perbankan nasional setelah krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 membuktikan bahwa industri perbankan saat itu tidak mampu mengatasi external shocks yang datang secara bergelombang,
tanpa bisa diprediksi dan terjadi dalam waktu yang begitu cepat. Ketidak mampuan sistem perbankan nasional menghadapi external shocks tersebut yang berakibat pada runtuhnya sistem perbankan pada saat itu membuktikan bahwa sistem perbankan kita masih belum siap secara keseluruhan dalam mengahadapi krisis besar yang yang terjadi secara tiba-tiba. Untuk itu kestabilan sistem perbankan maupun keuangan harus dipertahankan secara berkesinambungan dan dapat dicegah sedini mungkin. Dalam rangka mencapai tujuan
tersebut, banking architecture yang bagus dan komprehensif diharapkan mampu menjadi salah satu supporting infrastructure kestabilan sistem keuangan secara kseluruhan.
Perkembangan inovasi produk dan jasa perbankan dalam satu dekade terakhir ini memperlihatkan kemajuan yang sangat pesat. Produk dan jasa yang ditawarkan oleh perbankan berkembang sejalan dengan keinginan nasabah untuk mendapatkan pelayanan keuangan yang semakin lengkap dan komprehensif dari perbankan. Kecenderungan nasabah untuk melihat sebuah bank sebagai “financial supermarket” telah memaksa bank-bank untuk memasarkan produk-produk yang lebih bervariasi. Nasabah menginginkan bank untuk dapat memenuhi segala kebutuhan keuangan nasabah tersebut sejak dari mereka lahir sampai mati. Sebagai konsekueinsinya, bank dituntut untuk menyediakan semua jasa keuangan dalam satu atap, sehingga nasabah tidak hanya ingin mendapatkan produk-produk bank saja melainkan juga produk-produk yang disediakan oleh lembaga keuangan lain seperti asuransi dan perusahaan sekuritas. Kondisi tersebut telah memaksa bank-bank untuk menawarkan produkproduk lebih beragam, tidak hanya produk traditional seperti deposito, tabungan, kredit dan sebagainya, melainkan juga menawarkan produk-produk baru yang selama ini belum banyak dilakukan sektor perbankan seperti bankassurance (produk asuransi), derivatif (asset backed securities, credit linked notes) dan investasi (seperti reksadana, dan equity linked deposit). Sementara itu, kemajuan teknologi informasi yang berjalan sangat pesat menyebabkan distribution channels untuk memasarkan produk dan jasa bank menjadi semakin cepat dan mudah serta bersifat borderless. Bank-bank semakin banyak menawarkan dan mendistribusikan produk dan jasanya dengan memanfaatkan electronic based channels seperti misalnya pemakainan ATM, internet banking, phone banking dan electronic fund transfer at point of sales (EFTPOS). Dengan keterlibatan teknologi in formasi dalam distribusi pelayanan jasa bank tersebut menyebabkan risiko yang dihadapi oleh industri perbankan juga semakin meningkat baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Meningkatnya exposures risiko tersebut harus mampu diantisipasi dalam prudential activities perbankan itu sendiri, sehingga mau tidak mau penerapan pengawasan dan pengaturan ke depan haruslah berbasis risiko.
Selain dari pada itu, tuntutan untuk comply dengan international best practices dalam hal pengaturan perbankan juga perlu diakomodir dalam arsitektur perbankan nasional. Basel Committe on Banking Supervision (BCBS) yang berpusat di Basel, Swiss, telah mengeluarkan beberapa ketentuan perbankan yang dikenal dengan the 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision maupun amandemen terbaru yang dikenal dengan nama Basel Acoord II. Negara-negara maju telah membuat agenda yang jelas mengenai rencana implementasi Basel II tersebut sekitar tahun 2006-2007 untuk industri perbankan mereka. Sebaliknya negara-negara berkembang sebagian besar belum memiliki agenda yang pasti kapan implementasi Basel II tersebut dapat dilaksanakan. Beberapa hal yang menjadi fokus dalam implementasi tersebut antara lain seperti penerapan market risk maupun operational risk dalam perhitungan modal bank (CAR) dan penciptaan disiplin pasar (market discipline) masih belum dapat dipastikan kapan akan dilaksanakan. Untuk itu diperlukan suatu tahapan dan rencana yang jelas dalam arsitektur perbankan nasional untuk mengakomodasi permasalahan diatas.
Best Practices di negara lain
Beberapa negara telah memiliki semacam blue print atau landscape perbankan yang dibuat oleh bank sentral maupun dari pemerintah masing-masing. Bahkan blue print tersebut ada juga yang bersifat lebih komprehensif dan luas, dalam arti meliputi seluruh aspek sistem keuangan, tidak hanya perbankan saja tetapi juga menyangkut lembaga keuangan lainnya.
Beberapa contoh negara yang telah memiliki blue print tersebut antara lain Malaysia, Hongkong, Thailand, Canada dan Australia. Sebagai contoh, blue print sistem keuangan di Australia bersifat luas dan komprehensif, meliputi semua aspek lembaga keuangan termasuk perbankan. Cetak biru sistem keuangan di Australia tersebut dibuat oleh satu tim yang disebut Wallis Inquiry (nama Wallis diambil dari nama ketua tim : Stan Wallis) merupakan salah satu contoh financial landscape yang tidak hanya bersifat komprehensif, tetapi juga memiliki visis jauh ke depan.
Ada beberapa hal dari hasil Wallis Inquiry yang bisa kita jadikan pelajaran untuk penyusunan landscape perbankan nasinal kita, antara lain larangan merger diantara 4 bank besar dan 2 perusahaan asuransi terbesar. Larangan seperti ini sangat bagus untuk menciptakan level kompetisi yang sehat diantara lembaga keuangan yang mendominasi pasar sehingga masyarakat dapat terlindungi dari praktek oligopoli maupun monopoli. Disamping itu, masih banyak good lessons yang dapat kita petik dari pengalaman dan best practices dari negara-negera yang telah memiliki landscape tersebut. Kewajiban untuk go public bagi bank-bank yang telah memiliki batas modal tertentu seperti halnya di Canada merupakan salah satu pelajaran bagus yang perlu kita pikirkan penerapannya di Indonesia.
Tujuan bank-bank untuk lebih banyak melakukan go public sangat erat kaitannya dengan tranparansi keuangan lembaga perbankan itu sendiri yang pada akhirnya juga dapat menciptakan good corporate governance. Contoh-contoh tersebut merupakan hal-hal positif yang sangat bermanfaat bagi pengembangan arsitektur perbankan nasional kita di masa yang akan datang.
Sasaran yang ingin dicapai.
Perlunya banking landscape bagi perbankan Indonesia tentunya masih dapat diperdebatkan untung ruginya oleh semua pihak termasuk dari kalangan perbankan sendiri. Namun demikian fakta-fakta empiris di lapangan membuktikan bahwa kehadiran banking landscape dirasakan sangat perlu untuk perbankan nasional. Memang tidak secara langsung dapat disimpulkan bahwa negara-negara yang telah memiliki banking landscape akan terhindar dari krisis ekonomi ataupun krisis perbankan. Setidak-tidaknya banking landscape tersebut akan memberikan kejelasan arah dan pandangan mengenai segala aspek yang berkaitan dengan perbankan nasional ke depan. Dengan adanya tatanan yang baik dan kerangka dasar yang jelas mengenai arah perbankan ke depan, diharapkan perbankan nasional mampu menjadi industri perbankan yang sehat dan kuat dalam rangka menjaga kestabilan sistem perbankan itu sendiri maupun sistem keuangan secara keseluruhan.
Beberapa hal yang perlu dirumuskan dalam cetak biru perbankan nasional adalah isuisu strategis yang selama ini masih menjadi permasalahan maupun potensi pengembangan kebijakan ke depan. Isu-isu strategis tersebut harus mampu dipecahkan dan diselesaikan dalam cetak biru perbankan nasional. Beberapa masalah tersebut antara lain adalah masalah kebijakan jumlah bank yang selama ini sering sekali diperdebatkan oleh banyak pihak. Pertanyan mendasar adalah apakah kita memerlukan jumlah bank sedemikian banyak yang saat ini mencapai 139 bank (posisi Maret 2003) namun sebagian besar adalah bank-bank yang beraset kecil, ataukah sebaliknya kita memerlukan jumlah bank yang sedikit namun kuat dari sisi permodalan maupun volume asetnya. Pertanyaan seperti ini tidak mudah untuk dijawab dan tentunya harus dipertimbangkan untung ruginya. Beberapa pihak tentu bisa beragumen bahwa jumlah bank haruslah kita biarkan tumbuh dengan sendiri sesuai dengan mekanisme pasar (market driven), jadi tidak perlu diatur lagi jumlahnya karena pertumbuhan jumlah bank akan mengikuti filosofi dasar banks follow the trade yang artinya bank akan berdiri jika ada peluang pasar yang terbuka. Namun sebaliknya, ada pemikiran lain yang menginginkan jumlah bank dibatasi namun kantornya tetap banyak seperti sekarang dengan berbagai argumen seperti misalnya menciptakan economies of scales, efisiensi pengawasan maupun alasan static effect (yang artinya, kekuatan aset dan modal yang lebih besar akan meningkatkan kemampuan bank dalam menghasilkan keuntungan).
Sementara itu, meningkatnya kualitas dan kuantitas kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa perbankan yang bersifat menyeluruh telah mendorong bank-bank untuk menyediakan semua jenis produk dan jasa perbankan dalam satu atap seperti halnya supermarket. Nasabah menginginkan kemudahan semua kebutuhan keuangan maupun perbankan dapat dipenuhi dalam satu rumah saja, sehingga perlu adanya ide pembentukan universal banking. Universal banking disini berarti bank dapat melakukan kegiatan jasa perbankan secara menyeluruh, tidak hanya terbatas pada produk tradisional saja, melainkan juga produk keuangan lain seperti asuransi, investasi, leasing, dan sebagainya, yang selama ini tidak boleh dilakukan oleh bank sesuai ketentuan undang-undang perbankan kita. Dengan adanya universal banking tersebut mengakibatkan terjadinya perpindahan risiko (risk transfer) dari lembaga keuangan lain ke lembaga perbankan apabila bank melakukan
kegiatan usaha dalam bentuk universal banking. Untuk itu perlu diperhatikan beberapa aspek pengamanannya, seperti misalnya masalah risk mitigant (upaya memimimalkan risiko) mengingat risiko usaha bank menjadi semakin luas dan besar, kebutuhan modal yang mencukupi untuk mengakomodir risiko-risiko tersebut serta koordinasi pengawasan dengan otoritas pengawas jasa keuangan lain.
Masalah strategis lain yang perlu dicarikan pemecahannya adalah mengenai sustainability daripada bank-bank penerima obligasi rekap. Sejak program rekap dimulai tahun 1998 sampai dengan tahun 2000, pemerintah telah menyuntikkan dana dalam bentuk obligasi rekap sebesar Rp431 triliun. Tujuan penambahan dana tersebut adalah untuk mempertahankan kelangsungan kinerja bank-bank yang direkap khususnya dalam rangka memperkuat struktur permodalannya. Di satu sisi, setoran dana pemerintah dalam bentuk obligasi rekap tersebut memang menjadikan bank-bank rekap tersebut survive dan memiliki permodalan yang mencukupi pada saat itu. Namun di sisi lainnya, suntikan obligasi rekap tersebut belum sepenuhnya membuat bank-bank rekap tersebut menjadi sustainable untuk jangka panjang. Ketergantungan bank-bank rekap atas bunga obligasi rekap masih sangat besar sejak program rekap dimulai, dan dalam dua tahun terakhir ini pangsanya masih cukup tinggi yaitu 33,8% dari seluruh total pendapatan bunga bank pada akhir tahun 2000 dan meningkat menjadi 35,8% pada akhir tahun 2002. Yang menjadi pertanyaan fundamental adalah bisakah bank-bank rekap tersebut dapat hidup sendiri (sustainable) tanpa bantuan obligasi rekap. Untuk itu perlu dicarikan pemikiran dan solusi yang terbaik bagaimana caranya bank-bank rekap tersebut tidak lagi bergantung pada obligasi pemerintah dan sebaliknya mampu meningkatkan proses intermediasi perbankan yang pada akhirnya mampu mendukung pertumbuhan ekonomi.
Disamping permasalahan diatas, masih banyak permasalahan lain yang juga memerlukan perhatian dalam rangka meningkatkan ketahanan dan kestabilan industri perbankan ke depan. Masalah-masalah tersebut antara lain, perlindungan konsumen perbankan yang pada saat ini kondisinya masih jauh dari memuaskan dan memerlukan perhatian yang lebih besar, implementasi the New Basel Accord yang perlu dipersiapkan secara matang, masalah consolidated supervision, serta pembentukan beberapa infrastruktur perbankan seperti credit bureau dan asset management company yang diperlukan untuk menunjang kegiatan perbankan ke depan. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan strategis tersebut, diperlukan arahan yang jelas mengenai rencana dan implementasinya ke depan, sehingga perbankan nasional akan memiliki pijakan yang jelas bagaimana mereka harus menyesuaikan rencana bisnis mereka agar supaya sejalan dengan arahan yang akan
dicapai industri perbankan ke depan.
Penyusunan Arsitektur Perbankan saat ini
Untuk memenuhi tuntutan perubahan-perubahan tersebut, Bank Indonesia saat ini sedang menyusun blueprint perbankan nasional yang lebih dikenal dengan istilah Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Penyusunan banking landscape tersebut merupakan suatu upaya terpadu yang menyangkut seluruh aspek perbankan dari A sampai Z sehingga diharapkan seluruh permasalahan yang terkait dengan perbankan telah terakomodir semuanya. Seperti halnya negara-negara lain yang telah memiliki banking landscape, permasalahan yang diakomodir dalam arsitektur perbankan Indonesia bersifat menyeluruh. Dalam menyusun API tersebut, Bank Indonesia telah memiliki kerangka dasar yang jelas yang dirumuskan dalam bentuk enam pilar seperti dalam gambar dibawah ini. 6 Pilar Arsitektur Perbankan Indonesia
- Sistem Pengawasan Perbankan
- Sistem Pengaturan Perbankan
- Struktur Perbankan Yang Sehat
- Industri Perbankan Yang Kuat
- Infrastruktur Perbankan
- Perlindungan Konsumen
Kerangka dasar dalam bentuk enam pilar tersebut nantinya akan dituangkan lebih lanjut dalam bentuk rekomendasi kebijakan mengenai arah yang akan ditempuh untuk masing-masing pilar diatas. Selanjutnya rekomendasi tersebut akan dijabarkan secara lebih konkrit dalam bentuk action plans yang pencapaiannya dilakukan dalam waktu 10 tahun kedepan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar