Selasa, 05 Januari 2010

'Ulumul Hadits

1. Pendahuluan
Membicarakan tentang hadits, hadits merupakan sumber ajaran agama islam yang mana hadits ditempatkan sebagai sumber hokum islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Penjelasan apa yang telah dibahas Allah didalam Al-Qur’an pada hakekatnya ditetapkan oleh Nabi. Dilihat dari segi etimologis, hadits berarti jadid (baru) atau bermakna khabar (berita). Tetapi dalam perkembangannya, terjadi perluasan makna hadits, yang didefinisikan sebagai segala perkataan, perbuatan, ketetapan yang dinisbatkan kepada Rasulullah. Oleh karena itu ulama hadits berusaha meliput sebanyak mungkin riwayat yang berkenaan tentang Rasulullah, tidak saja berkenaan dengan aspek hokum, akan tetapi juga menceritakan keadaan beliau, sifat sifat dan kebiasaan, bahkan hingga gambaran dan performa fisik beliau sekalipun.


Akan tetapi yang menjadi permasalahan diantara para ulama ialah kadar intensitas mereka dalam menerapkan hadits sebagai sumber hokum, karena banyaknya masalah yang timbul dalam ‘ulum al-hadits dalam menilai kualitas sebuah hadits.
Oleh karena itu penulis akan meneliti sebuah hadits dan menentukan kualitas sebuah hadits, apakah hadits tersebut tergolong hadits dhaif, hasan, atau shahih.
2. Penelitian sanad
 Dalam penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui apakah hadits yang saya teliti tergolong hadits yang shahih, hasan, atau dhaif. Tahap awal yang penulis lakukan ialah takhrijul al-hadits berdasarkan lafadz dan topic yang dipilih pada al-Mu’jam al-Mufahros li Alfadzil al-Hadits al- Nabawy.
 Penulis menentukan lafadz سلم untuk diteliti dan berikut hadits secara jelasnya.
حدثنا اسحاق, اخبرنا عيس بن يونس, حد ثنا الاوزاء, عن ربيعة ابن ابي عبد الرحمن, حدثني حنظلة بن قيس الاصاري, قال: سالت رافع بن خديج عن كراءالارض بالذهب والورق؟ فقال: لاباس به انما كان النا س يؤا جرون, علي عهد النبي صلي الله عليه و سلم علي الما ذيانات, واقبال الجدوال, واشياء من الزرع فيهلك هذاويسلم هذا ويسلم هذاويهلك هذا فلم يكن للناس كراءالاهذا فلذلك زجر عنه, فاماشئ معلوم مضمون فلا باس به.
“Dalam riwayat Muslim disenutkan, dari Hanzalah bim Qais, ia berkata, ‘aku bertanya pada Rafi’ bin Khadij tenteng menyewakan tanah dengan emas dan perak. Maka ia berkata,’tidak apa-apa, karena orang-orang biasa menyewakannya pada zaman Rasulullah SAW lahan-lahan dipinggir sungai yang besar dan yang berdekatan dengan anak sungai serta sebagian tanaman, hingga yang ini rusak dan yang lain selamat orang-orang tidak menyewakan kecuali yang seperti itu. Karena itulah beliau mencelanya. Adapun untuk sesuatu yang diketahui secara jelas dan dijamin, maka tidak apa-apa.

A. Biografi Perawi, Kebersambungan Sanad dan Kualitas Perawi.
a) Ishaq, nama lengkapnya اسحاق بن ابراهيم بن مخلد بن ابراهيم بن مطر , sedangkan nama kunniyahnya abu ya’qub. Dan terdapat 19 guru yang meriwayatkan hadits kepadanya. Diantaranya ialah Jarir, Ibnu Aliyah, Isa bin Yunus, Baqiyyah. Dan murid beliau salah satunya ialah Imam Muslim.
Kritik ulama terhadap kualitas pribadi dan kapasitas intelektual Ishaq bin Ibrahim ialah seperti yang dikatakan Ahmad bin Hambal: من ائمة المسلمين,An-Nasai:ثقة. Menyimak penilaian ulama dapat disimpulkan bahwa Ishaq bin Ibrahim termasuk perawi yangثقة حافظ, bahwa merupakan golongan perawi yang bersifat Ta’dil dan hadits-haditsnya bisa dijadikan hujjah.
b) Isa bin Yunus, nama lengkap beliau ialah عيس بن يونس بن ابي اسحاق, nama kunniyahnya adalah Abu Amru. Terdapat 79 guru yang meriwayatkan hadits kepadanya, diantaranya ialah Abdurrahman bin Amru Al-Auzai, Usamah bin zaid, Ismail bin Abi, Ismail bin Abdul Malik, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin juraij. Dan murid berjumlah 82 orang, yaitu diantaranya Ibrahim ibnu Musa Al-Farai Ar-Raziyu, Ahmad bin Daud Al-Khadad, Ishaq bin Rahawiyah, Ismail bin aban Al-Waraq, Ishaq bin Ibrahim.
Kritikan ulama tentang Isa bin Yunus, yaitu dari ulama Ya’qub bin Syaibah:ثقة, Muhammad bin Sa’ad: ثقة ثبت, Ahmad bin Hambal: ثقة. Kesipulan dari para ulama tentang perawi ini ialah ثقة مامون dan merupakan golongan yang bersifat Ta’dil dan hadits-haditsnya bisa dijadikan hujjah.
c) Al-Auzai, nama aslinya ialah عبد الرحمن بن عمرو بن ابي عمرو, beliau mempunyai guru berjumlah 85 orang, salah satunya Ibrahim bin Tharif, Ibrahim bin Murah, Khasan bin Athiyah, Hakim bin Utaibah, Rabiatu ibnu Abi Abdurrahman. Dan muridnya 90 orang, diantaranya Isa bin Yunus, Umar bin Subkhi, Abdullah bin Mubarak, Baqiyah bin Walid, Salamah bin Kulsum.
Kritikan ulama terhadap Al-Auzai diantaranya, Isa bin Yunus: حافظ, Yahya bin Muayyin: ثقة, Muhammad bin Sa’ad: ثقة مامون, Ya’qub bin Syaibah: ثقة ثبت. Kesimpulan dari para ulama tentang al-Auzai yaitu ثقة, dan Al-Auzai masuk dalam golongan perawi yang bersifat Ta’dil dan Hadits-haditsnya bisa dipakai sebagai hujjah.
d) Rabiatu ibnu Abi Abdurrahman, nama lengkapnya ialah ربيعة بن ابي عبد الرحمن فروج, nama kunniyahnya Abu Usman. Jumlah guru 6 orang yaitu salah satunya Anas, Sa’ib bin Yazid, Sa’id bin Musayyab, Handholah bin Qais, Khaliq. Sedangkan murid 9 orang diantaranya Sulaiman At-Taimi, Yahya bin Said Al-Anshori, Malik, Al-Auzai, As-Suuri.
Kritikan ulama terhadap Rabiatu ibnu Abi Abdurrahman, diantaranya dari Ahmad bin Hambal: ثقة, Ya’qub bin Syaibah: ثقة ثبت, Muhammad bin Sa’ad: ثقة. Kesipulan dari penilaian ulama yaitu ثقة, Rabiatu termasuk golongan perawi yang Ta’dil dan haditsnya bisa dijadikan hujjah.
e) Handholah bin Qais al-Anshori, mempunyai guru 6 orang yaitu Umar, Usman, Abi Al-Yasir, Rafiq bin khadij, Ibnu Zabir, Abdullah bin Amir bin khariz. Sedangkan muridnya 4 orang yaitu Rabi’ah, Yahya bin Said Al-Anshori, Az-Zahra, Abu Al-Khawariz Az-Zarqa.
Kritikan ulama terhadap Handholah bin Qais al-Anshori, diantaranya ibnu khiban: الثقات, Ad-Dhahabi: ثقة. Kesimpulan ulama tetang perawi ini termasuk ثقة dan termasuk golongan yang Ta’dil dan haditsnya bisa dijadikan hujjah.
f) Rafi’ bin khadij, nama kunniyahnya yaitu ابو عبد الله, mempunyai guru Rasulullah dan Dhahir bin Rafi’ bin Adi bin Zaid dan muridnya 11 orang yaitu Ibnu Rafa’ah, khafiduh Isa, Usman bin Sahl,Handholah bin Qais, Atho.
Kritikan ulama terhadap kualitas pribadi dan kapasitas intelektual Rafi’ bin khadij, yatiu kedudukan beliau sebagai sahabat serta haditsnya bisa dijadikan hujjah.
B. Keadilan dan Kedhabitan Perawi
Yang dimaksud dengan adil dalam tranformasi hadits adalah bahwa periwayat tersebut harus beragama islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara citra dirinya. Dengan kata lain keadilan perawi terkait dengan kualitas pribadinya, dan ke enam perawi diatas setelah penulis teliti masuk dalam criteria tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dhabit ialah periwayat hadits dapat menguasai haditsnya dengan baik, baik hafalannya yang kuat ataupun tulisan (kitabnya), serta mampu mengungkapkan kembali ketika meriwayatkan kepada orang lain. Kedhabitan perawi ini terkait dengan kapasitas intelektualnya (kecerdasannya). Setelah penulis meneliti kedhabitan perawi-perawi diatas, perawi tersebut masuk dalam criteria yang dimaksud dengan dhabit.
C. Kualitas Hadits
Setelah penulis meneliti kualitas hadits diatas, dapat disimpulkan hadits tersebut termasuk hadits yang shahih,karena memenuhi criteria berikut:
a. Sanadnya bersambung, artinya dalam periwayatan hadits, si perawi dengan perawi hadits tertentu diatasnya atau perawi dibawahnya terdapat pertemuan langsung (liqa’).
b. Bukan hadits yang syadz, karena perawinya tsiqah.
c. Tidak terkena illat.
d. Seluruh tokoh perawi dalam sanadnya bersifat adil, dhabit, dan cermat.
3. Perbandingan Matan
Disini penulis tidak menemukan ayat al-Qur’an yang membahas tentang hadits yang sedang penulis teliti, akan tetapi penulis menemukan hadits yang semakna dan menjelaskan hadits yang penulis teliti. Untuk lebih jelasnya, haditsnya seperti berikut.
عن ابن عمر رضي الله عنهما ان رسول الله لصي عليه و سلم عامل اهل خيبر بشطر ما يخرج منها من ثمر او زرع. متفق عليه.
وفي الرواية لهما: فسالوه ان يقرهم بها علي ان يكفوه عملها ولهم نصف التمر فقال لهم رسول الله صلي الله عليه وسلم: "نكركم بها علي ذلك ما شئت"فقروا بها حتي اجل هم عمر رضي الله عنه.
ولمسلم: ان رسول الله صلي الله عليه وسلم دفع الي يهود خيبر نخل خيبر وارضها علي ان يعتملوها من اموا لهم ولهم شطر ثمرها.
“Dari ibnu Umar r.a Rasulullah saw. Bermuamalah dengan penduduk Khaibar dengan memperoleh setengah dari buah-buahan atau tanaman. (Muttafaq ‘alaih).
Disebutkan dalam riwayat Bukhari dan Muslim.
“Penduduk khaibar meminta agar beliau menetapakan mereka pada pekerjaan itu, dan mereka akan melaksanakan tugasnya, lalu mereka akan mendapatkan separuh dari hasil kurma. Beliau bersabda kepada mereka,’kami menetapkan kalian demikian pada tanah itu selama kami menghendaki.’Dan mereka tetap demikian sampai Umar r.a. mengusir mereka.”
“Sesungguhnya Rasulullah saw. Memberikan kepada orang yahudi khaibar pohon kurma dan tanah khaibar dengan syarat mereka harus mengelolanya dengan modal mereka sendiri, dan mereka akan mendapatkan separuh dari hasil buahnya.
 Setelah membandingkan dengan beberapa hadits diatas, dapat diketahui bahwa menyewakan tanah dengan emas dan perak hukumnya halal (boleh) dengan ketentuan-ketentuan seperti yang sudah dijelaskan pada hadits seperti yang diatas.
4. Fakta Sejarah
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Muslim dari Rafi bin Khadij, beliau berkata:”kebanyakan kami para penduduk Madinah adalah para petani. Kami dulu biasa menyewakan ladang-ladang didaerah tertentu. Setelah panen, sebagian hasilnya diberikan kepada pemilik tanahnya. Kadang-kadang tanah yang kami sewakan mendatangkan hasil dan kami pun mendapatkan bagian. Ladang kami pun juga diserahkan kembali. Namun kemudian model penyewaan itu dilarang, padahal waktu itu emas dan perak belum ada.
Diriwayatkan dari Ahmad dari Urwah bin Zubair beliau berkata:”Zaid bin tsabit berkata: semoga Allah mengampuni Rafi’ bin Khadij. Saya (Zaid bin Tsabit) sungguh lebih tahu mengenai hadits itu disbanding dia. Dulu ada dua orang yang bertengkar dating kepada Nabi saw, karena bertengkar masalah persewaan ladang tersebut.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai dari Sa’id bin Abi Waqqash bahwa para pemilik tanah pada zaman Nabi biasa menyewakan ladang-ladangnya untuk ditanami tanaman (seperti kurma atau gandum) dengan diberi air dari sungai. Namun kemudian ternyata hal itu sering kali menyebabkan terjadinya persengketaan diantara mereka. Mereka lalu mengadukan kepada Nabi saw. Maka beliau melarang menyewakan ladang-ladang tersebut dan Nabi saw bersabda:
“Sewakanlah ladang-ladang tersebut dengan emas dan perak.”
5. Membandingkan Dengan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Disini penulis membandingkan hadits dengan perkembangan yang terjadi dalam perbankan syariah, yang mana perbandingan ini menjurus pada jurusan yang kami ambil pada Fakultas Syariah.
Pada dasarnya, muzara’ah adalah konsep kerja sama bagi hasil dalam pengelolaan pertanian antara petani pemilik lahan dengan petani penggarap.Tidak hanya muzara’ah saja yang menjadi dasar konsep kerja sama bagi hasil dalam pertanian, tetapi ada juga mukhabarah. Perbedaan antara muzara’ah dan mukhabarah terletak pada asal benih yang ditanam. Jika benihnya berasal dari petani pemilik lahan biasa disebut dengan muzara’ah.
Praktek muzara’ah mengacu pada prinsip profit and loss sharing system. Hasil akhir menjadi patokan dalam praktek muzara’ah. Jika, hasil pertaniannya mengalami keuntungan, maka keuntunganya dibagi antara kedua belah pihak, yaitu petani pemilik sawah dan petani penggarap. Begitu pula sebaliknya, jika hasil pertaniannya mengalami kerugian, maka kerugiannya ditanggung bersama. Dalam prakteknya, muzara’ah sudah menjadi tradisi masyarakat petani di pedesaan. Khususnya di tanah Jawa, praktek ini biasa disebut dengan maro, mertelu dan mrapat. Maro dapat difahami keuntungan yang dibagi separo-separo (1/2:1/2), artinya separo untuk petani pemilik sawah dan separo untuk petani penggarap. Jika mengambil perhitungan mertelu, berarti nisbah bagi hasilnya adalah 1/3 dan 2/3. Bisa jadi 1/3 untuk petani pemilik sawah dan 2/3 untuk petani penggarap, atau sebaliknya sesuai, dengan kesepakatan antara keduanya.
Dasar yang menjadi acuan praktek muzara’ah adalah hadits Nabi Saw. Diantaranya, hadist riwayat Imam Bukhari dari Jabir yang menyatakan bahwa kaum Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/3:2/3, 1/4:3/4, 1/2:1/2, maka Rasulullah Saw pun bersabda, “Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap, barangsiapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.”
Sahabat Luthfi yang budiman, konsep muzara’ah aslinya dapat diadopsi dalam praktek industri perbankan syariah di Indonesia. Tetapi, saat ini skema pembiayaan di sektor pertanian masih kecil. Banyak produk pembiayaan perbankan syariah yang diarahkan pada sektor lain, khususnya di sektor moneter. Sebagai gambaran, realisasi kredit pada sektor pertanian pada tahun 2006 baru 5,46% atau setara dengan 39,5 triliun dari total penyaluran kredit perbankan nasional sebesar Rp. 723.73 triliun. Kondisi seperti ini terlihat agak ironis, sebab negara Indonesia yang bentangan lahan pertaniannya sangat luas belum didukung secara maksimal oleh industri perbankan nasional. Menurut hemat kami, ke depan sektor pertanian perlu mendapat dukungan lebih besar oleh industri perbankan nasional, khususnya perbankan syariah. Dalam hal ini, industri perbankan syariah dapat mencreate produknya dengan mengadopsi konsep muzara’ah ataupun mukhabarah.
6. Pemahaman Hadits
Penulis mengambil pendekatan kontekstual, dikarenakan ingin memahami hadits dengan cara memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatari munculnya hadits-hadits tersebut. Ada beberapa hadits dibawah ini sebagai perbandingan, hadits mana yang lebih kuat hujjahnya.
1) وفي الرواية لهما: فسالوه ان يقرهم بها علي ان يكفوه عملها ولهم نصف التمر فقال لهم رسول الله صلي الله عليه وسلم: "نكركم بها علي ذلك ما شئت"فقروا بها حتي اجل هم عمر رضي الله عنه.
“Penduduk khaibar meminta agar beliau menetapkan mereka pada pekerjaan itu, dan mereka akan melaksanakan tugasnya, lalu mereka akan mendapatkan separuh dari hasil kurma. Beliau bersabda kepada mereka,’kami menetapkan kalian demikian pada tanah itu selama kami menghendaki.’Dan mereka tetap demikian sampai Umar r.a. mengusir mereka.”
2) ولمسلم: ان رسول الله صلي الله عليه وسلم دفع الي يهود خيبر نخل خيبر وارضها علي ان يعتملوها من اموا لهم ولهم شطر ثمرها.
“Sesungguhnya Rasulullah saw. Memberikan kepada orang yahudi khaibar pohon kurma dan tanah khaibar dengan syarat mereka harus mengelolanya dengan modal mereka sendiri, dan mereka akan mendapatkan separuh dari hasil buahnya.
3) و عن ثابت بن الضحاك رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه و سلم نهي عن المزارعة وامر بالمؤاجرة (رواه مسلم)
“Rasulullah saw. Melarang akad Muzara’ah dan menyuruh akad muajarah (sewa-menyewa).

Makna hadits:
 Hadits pertama dan kedua membolehkan akad muzara’ah.
 Sedangkan hadits yang ketiga mengharamkan akad muzara’ah.
 Pemahaman dan penyelesaian: antara hadits 1,2 dan 3 memliki konteks yang berbeda. Tetapi pada dasarnya dibolehkan atau diharamkannya akad muzaraah seperti demikian:
a. Yang tidak diperbolehkan
Di dalam dua hadits ini terkandung penjelasan dan rincian sewa menyewa tanah dengan cara yang benar dan sewa menyewa yang batil. Rafi’ bin Khudaij menuturkan bahwa kelurganya termasuk dan penduduk Madinah yang memiliki ladang dan kebun yang luas, sehingga mereka menyewakan ladang dan kebunnya dengan cara yang berlaku semasa Jahiliyah. Mereka menyerahkan lahan kepada para penggarap untuk ditanami, dengan system pembagian bahwa para penggarap berhak mendapatkan hasil dari lahan tertentu dan keluarganya berhak terhadap hasil dari lahan yang lainnya. Padahal lahan ini bagus hasilnya dan lahan yang lain tidak bagus atau rusak.
 Mereka menetapkan lahan yang bagus bagi para pemilik tanah, seperti lahan dan tanaman yang berada dipinggir aliran sunga dan anak sungai, padahal lahan ini bisa bagus hasilnya dan yang lain rusak.
 Maka Rasulullah SAW melarang Muamalah ini, karena disini ada gharar, ketidakjelasan dan kerugian. Ha ini termasuk dalam bab untung untungan dan judi, yang diharamkan dan tidak diperbolehkan, tanpa ada kejelasan tukar menukar.
b. Yang diperbolehkan
 Jika penggarap diberi upah dari hasilnya, maka itu merupakan persekutuan yang pijakannya adalah keadilan dan kesamaan hak, dalam hasil maupun kerugiannya. Jika dengan suatu pembayaran uang sewa, berarti itu merupakan sewa menyewa yang harus diketahui nilai uang sewanya.
 Hal itu diperbolehkan, baik pembayarannya dengan emas ataupun dengan perak atau bahan makanan yang dihasilkan dari tanah, dari jenisnya dan lain jenisnya, karena itu merupakan sewa menyewa tanah dan juga didasarkan kepada keumuman hadits,”Adapun untuk sesuatu yang diketahui secara jelas dan dijamin, maka tidak apa-apa”.
7. Kesimpulan hadits:
Setelah melewati beberapa tahap yang merupakan syarat shahihnya penelitian pada mata kuliah ‘ulumul hadits, penulis menyimpulkannya sebagai berikut:
1. Diperbolehkan sewa menyewa tanah untuk ditanami. Ini merupakan Ijma’ para ulama secara umum.
2. Uang sewa harus jelas dan tidak dianggap sah jika tidak diketahui secara jelas.
3. Keumuman hadits ini memberikan pengertian bahwa uang sewa itu boleh berupa emas atau perak atau lainnya, termasuk pula jika berupa hasil bumi.
4. Larangan memasukkan syarat yang batil dalam perjanjian sewa menyewa, seperti menetapkan lahan tertentu dari tanaman dan mengkhususkan lahan dipinggir aliran sungaiatau sejenisnya dari lahan atau tanaman yang subur bagi pemilik tanah. Maka yang demikian itu merupakan muzara’ah ataupun ijarah yang tidak sah, karena didalamnya mengandung gharar, padahal pada dasarnya harus keadilan dan persamaan. Yang boleh dilakukan ialah mempunyai kedudukan yang sama, baik hasil maupun keugiannya.

Daftar Pustaka
 Ismail yahya, Sarah Shahih Muslim Lil Khodi Iyad, Riyad: Darul Wafa, 2004
 Shidqi Jamil Al-Athori, Tahdzibu Tahdib, Darul Fikri, 1990, juz 2
 Al-Mazzi. Tahdzi al-Kamal fi Asma al-Rijal, libanon: ar-risalah.
 Bashari Awad Ma’ruf, Tadzhibul Kamal Fi Asma’ Ar-Rijal, Beirut: Ar-Risalah, 2002.
 Umi Sumbullah, Ulumul Hadits 1, Malang, 2007.
 Ibnu Hajar Al-Asqalani, terjemahan Bulughul Maram, (Jakarta: Akbar),2007.
 Said Agil H.M, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, (Jogja: Pustaka belajar), 2001.
 Pkesinteraktif, Praktek Muzara’ah, www.pkesinteraktif.com 30 april 2008.
 Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam, Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim,(Jakarta:Darul falah),2007.

1 komentar: