Selasa, 05 Januari 2010

makanan halal dan haram dalam perspektif al-quran

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Allah Swt telah memberikan kepada kita rezeki yang berupa makanan. Dengan demikian maka kita patut bersyukur akan rezeki yang telah kita dapatkan tersebut. Allah menghalalkan segala bentuk makanan. Akan tetapi, Allah juga memberi batasan terhadap makanan sebagaimana tercantum dalam firman allah dalam surat Al-Baqarah: 172-173 yang berupa empat macam, yaitu bangkai, darah, daging babi dan hewan sembelihan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah.
Tujuannya adalah agar kita sebagai hamba Allah dapat mengetahui apa yang dilarang oleh Allah karena pada dasarnya semua itu mengandung hikmah bahwa makanan-makanan tersebut tidak baik untuk kesehatan.
1.2.

Rumusan Masalah
1. Sebutkan macam-macam makanan yang diharamkan?
1.3. Tujuan
1. Agar mengatahui berbagai macam makanan yang diharamkan.
2. Agar mengetahui isi kandungan dari surat Al-Baqarah:172-173.

PEMBAHASAN

2. 1 Makanan yang diharamkan
Islam adalah agama yang sempurna dan mudah, tidak ada perkara manusia yang luput dari aturan-aturannya, baik perkara yang di anggap berat hingga perkara yang sangat sepele yang setiap hari berhubungan dengan aktifitas manusia temasuk halal tidaknya makanan yang dikonsumsi.
Di dalam Al-Qur’an Allah telah menyerukan agar manusia menikmati makanan yang baik-baik dalam kehidupannya, serta menjauhi makanan yang jelek ban menjijikkan. Seruan agar menjauhi makanan yang jelek ini sebagai peringatan bahwa makanan yang jelek adalah makanan setan. Allah juga telah memperingatkan kepada manusia agar jangan bertaqlid dalam masalah akidah tanpa petunjuk dari Allah, dan dan mengungkapkan keaiban orang-orang yang menyeru kepada selain Allah.
Pelarangan ini bukan karena Allah menginginkan agar mereka mengalami kesulitan dalam mencari rizki, sebab Allah sendirilah yang melimpahkan rizki kepada mereka. Allah menginginkan mereka agar menjadi hamba yang bisa mensyukuri apa-apa yang dari Allah dan agar mereka bisa betul-betul beribadah semata-mata hanya kepada Allah.tanpa ada penyekutuan. Maka Allah mewahyukan kepada mereka bahwa syukur itu adalah termanifestasikan dengan ibadah dan taat serta ridha dengan apa-apa yang dari Allah. Pernyataan ini terangkum dalam satu kalimat pendek.
              
”Hai orang-orang yang beriman makan lah diantara rizki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu benar-benar hanya menyembah kepada-Nya”

kemudian Allah melanjutkan penjelasan tentang apa-apa yang diharamkan diri makanan dengan suatu bentuk nash yang dibatasi dengan penggunaan adatul qashri perangkat pembatasan yakni innamaa
        •    
”sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang(ketika disembelih) disebut suatu (nama)selain Allah.”

”Bangkai” itu akan dijauhi dan dibenci oleh jiwa yang baik, begitu juga dengan darah. Lebih-lebih ternyata setelah dilakukan penelitian ternyata terkumpul bakteri-bakteri yang membahayakan tubuh manusia, dalam sebuah penelitian membuktikan bahwa didalam daging babi terkandungdua jenis dua jejis mikroba yakni cacing pita (tapeworm) dan trikini (tricina) yang merupakan nematode worm trichinella yang larvanya memenuhi otot dan usus sadar manusia, Saat ini, pengguna daging babi dilarang bahkan dibeberapa negara timur. Dalam agama-agama terdahulu pelaku dosa besar diumpamakan seperti babi.
Sudah tentu ada pengecualian dimana istilah ghaira baagin tidak untuk menunjukkan kesenangan tetapi didorong oleh kebutuhan yang mendesak, dan istilah aadin berarti tanpa maksud melanggar hukum Allah yang sudah ditentukan atau tidak juga untuk melampaui batas keinginan yang aktual dan kebutuhan yang sepele. Bila seseorang dengan berdasarkan kendalinya atau terpaksa oleh kebutuhan untuk menyelamatkan nyawanya memakan makanan-makanan semacam itu merupakan hal yang diperbolehkan.
Disebut dalam tafsir Nuruts tsaqalain dalam sebuah hadits yang gamblang dari imam ash-shadiq yang berkata ”Barang siapa yang mau tidak mau harus memakan bangkai atau darah atau daging babi idan ia menghindari memakan sesuatu dari makanan yang disebut tadihingga ia wafat, maka ia mati dalam keadaan kafir.

2. 2 ANALISIS AYAT
Firman Allah:

              
”Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik-baik yang kami berikn kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika hanya kepada Allah lah kamu menyembah.”(Qs. Al-Baqarah [2]: 172)
ayat ini adalah penekanan dari ayat perintah sebelumnya(yakni ayat ”Hai Manusia, makanlah yang halal dan baik”). Namun pada ayat ini di khususkan untuk orang-orang yang beriman saja, sebagia keutamaan keimanan mereka.
Dapun makna ”makan” disini adalah mengambil manfaat dengan segala bentuknya. Ada juga yang berpendapat bahwa makanan adalah seperti makan biasa.
Firman Allah:
        •               •    
”sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang(ketika disembelih) disebut suatu (nama)selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa(memakannya) sedang ia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha mengampuni lagi maha penyayang”. .”(Qs. Al-Baqarah [2]: 173)

Dalam ayat ini terdapat masalah:
Pertama: firman Allah SWT    ”sesungguhnya Allahhanya mengharamkan bagimu bangkai”. Kata  disini adalah kata tema untuk membatasi sesuatu, yang terdiri dari penetapan dan peniadaan. Maknanya, ayat ini menetapkan hukum dari apa yang disebutkan, dan meniadakan hukum dari apa yang tidak disebutkan. Dan ayat ini khusus membatasi sesuatu yang diharamkan, apalagi ayat ini disebut setelah ayat penghalalan, yaitu firman Allah SWT:
       
”Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu”. Ayat ini menghalalkan semua makanan, lalu setelah disebutkan pembatasan dengan kata  untuk mengharamkannya. Oleh karena itu, ayat ini menunjukkan dua hal, yang pertama adalah pembatasan untuk menghalalkan secara keseluruhan tadi, dan yang kedua dalah tidak mengharamkan untuk makanan selain yang disebut pada ayat ini.

Kedua: kata  berkharakat fathah karena ia berposisi sebagai maf’ul dari kata Sedangkan kata  bermakna ’seluruh’ atau bisa juga bermakna yang, jika dipisahkan penulisannya.

Ketiga: Makna  (bangkai) adalah jasad yang telah dipisahkan dengan nyawanya tanpa ada maksud untuk disembelih atau dikurbankan. Dan juga binatang mati yang tidak halal dimakan, walaupun disembelih. Seperti misdalnya binatang buas, ataupun yang lainnya. Insya’Allah keterangannya akan dijelaskan pada surah Al An’am.
Keempat : Mengenai firman Allah SWT  (darah) pada ayat ini, para ulama’ sepakat bahwa darah itu hukumnya najis dan haram, tidakk boleh dimakan dan tidak boleh dimanfaatkan dalam bentuk apapun.
Ibnu khuwaizimandad berkata:adapun jika darah ini nyata haram, namun jika hanya sebagian kecilnya saja dan hampir tidak nyata maka hukumnya dimaafkan. Contoh darah yang tidak jelas adalah darah yang melekat pada daging. Dan jika darah yang tidak nyata ini terkena badan atau pakaian maka masih oleh untuk di pakai shalat.
Sebuah riwayat dari aisyah menyebutkan: ”pada masa Rasulullah SAW masih hidup, kami memasak di ataas burmah (periyuk dari batu) untuk mengangkat kepucatan darah dari daging, lalu kami memakannya dan beliau tidak melarangnya.
Hal ini dikarnakan, terlalu teliti dalam menghilangkan semua darah adalh hal yang menyulitkan, sedangkan hal yang menyulitkan dalam agama tidak dianjurkan. Ini adalah hukuim mendasar pada syari’at Islam, yaitu bahwa setiap yang menylitkan umat dalm melaksanakan ibadah atau memberatkan mereka, mka ibadahpun menjadi gugur karenanya. Bukankah dalam keadaan arurat kita boleh memakan bangkai, atau yang sakit boleh berbuka puasa, dan lain sebagainya.
Kelima : firman Allah SWT :  ”dan daging babi ” pada ayat ini Allah SWT mengkhususkan penyebutan daging babi untuk dapat menunjukan pengharaman zat dari hewan babi tersebut, entah babi itu yang disembelih atau tidajk. Dan untuk meluaskan maknanya atas lemaknya, tulang rawannya dam lain sebagainya.
Keenam : firman Allah SWT :  huruf nun pada kalimat ini diberikan harkat kasrah, karena bertemunya dua sukun yang tidak memungkinkan keduanya untuk dibaca sukun. Dan makna sesungguhnya tidak hanya bagi orang terpaksa untuk memakan atau memanfaatkan semua yang diharamkan ini.
Kata undzur sendiri adalah bentuk ifta’ala dari darurah.
Kata undzur ini adalah bacaan yang sebenarnya . sedangkan Ibnu Muhaishin membacanya dengan mengidghomkan huruf dhad pada huruf tha’, menjadi faman athar. Dan Abu Syammal membaca huruf tha nya dengan menggunakan harkah kasrah yakni famantharri.
Ketujuh: firman Allah SWT  ”sedang ia tidak menginginkannya”. Nashab( harakat fathah) pada  disebabkab oleh penempatan posisinya sebagai keterangan. Adajuga yang berpendapat bahwa nahsabnya disebabkabn karena ia sebagai pengecualian, namun kata ini akan menempati posisi keterangan jika ia memiliki makna”didalamnya” dan kata ini akan berarti pengecualian jika ia bermakna”selain ” maka dari itu anda akan boleh mencocokkannya sendiri.
Kata  sendiri asal katanya baagiyun, karena harakat dhammah pada huruf ya’ pada kata ini adalah sangat berat bagi orang arab, maka huruf ya’ yang digantikan dengan harakat kasrah.
Kedelapan: Firman Allah SWT, ”Dan tidak (pula) melampaui batas”. Kata  ini termasuk kata-kata yang asalnya terbalik. Makna dari ayat yang ini adalah, sseperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, bahwa Allah SWT mengizinkan orang-orang yang sedang dalam keterpaksaan untuk memakan makanan yang haram, oleh karena itu, yang menjadi syarat dihalalkannya sesuatu yang diharamkan adalah hukum asal dari makanan yang ingfin dimakannya adalah tidak dihalalkan.
Kesembilan: Firman Allah SWT,  Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. Yakni mengampuni orang-orang yang berbuat maksiat. Oleh karena itu Allah SWT tidak menghukum orang yang melakukan suatu hal yang telah diringankan oleh-Nya. Dan Alhamdulillah , karena kasih sayang-Nya lah beberapa hal yang dilarang tidak selamanya haram. Karena Allah tidak akan membebani hamba-Nya melebihi kemampuannya.

2. 3 MUNASABAH
Pada ayat sebelumnya yaitu pada surat Al-Baqarah:172, yang berbunyi:
              
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”
Dalam ayat ini Allah Swt memperkenankan hamba-Nya untuk memakan dan menikmati makanan yang halal sebagai rezeki dari Allah Swt. Selain itu Allah Swt juga memerintah hamba-Nya untuk bersyukur kapada-Nya atas rezeki yang telah diberikan. Kemudian pada ayat selanjutnya, Allah Swt menegaskan bahwa makanan yang diharamkan itu hanya ada empat, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut selain nama Allah.

2. 4 HUKUM ISI KANDUNGAN AYAT
                       •               •    
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Baqarah (2):172)
Allah Swt berfirman memerintahkan kepada hamba-hambanya yang mukmin untuk memakan dari rezeki yang baik yang telah diberikannya dari mereka bersyukur kepada Allah Swt atas hal tersebut, jika mereka benar-benar mengaku sebagai hamba-hambanya. Makan dari rezeki yang halal merupakan penyebab bagi terkabulnyaddoa dan ibadah, sedangkan makan dari rezeki yang haram dapat menghabat terkabulnya doa dan ibadah.
Setelah Allah menganugerahkan kepada mereka rezekinya dan mereka petunjuk agar makan dari rezeki yang halal, berikutnya Allah menyebutnya Allah menyebutkan bahwa dia tidak mengharamkan kepada mereka dari dari hal tersebut kecuali bangkai. Akan tetapi jumhur ulama mengecualikan masalah ini ialah bangkai ikan, karena berdasarkan firmannya:
•     
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut.” (Qs. Al-Maidah: 96)
Imam malik menurut salah satu riwayat mengatakan bahwa air susu dan telur tersebut suci, hanya saja menjadi najis karena factor mujawairah. Demikian pula halnya dengan keju ayng terbuat dari air susu bangkai, masih diperselisihkan. Tetapi menurut pendapat yang terkenal dikalangn mereka, hukumnya najis. Mereka mengemukakan dalil untuk alas an mereka, bahwa para sahabatpernah memakan keju orang-orang majusi. Imam Qurthubi didalam kitab tarsirnya, sehubungan dengan masalah ini mengatakan, “ bahan keju tersebut sedikit, sedangkan campurannya terdiri atas banayak air susu. Karena itu, najis yang sedikit dimaafkan bila bercampur denagn cairan (suci) yang banyak.”
Ibnu majah meriwayatkan melalui hadits Said Ibnu Harun dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Salman r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw pernah ditanya mengenai Samin, Keju, dan Bulu maka Beliau bersabda :
“halal ialah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah didalam kitab-Nya dan haram ialah apa-apa yang diharam didalam kitab-Nya, sedangkan apa yang tidak diterangkan padanya termasuk sesuatu yang dimaafkan.”
Diharamkan pula atas mereka daging babi, baik yang disembelih ataupun mati dengan sendirinya. Termasuk ke dalam pengertian daging babi ialah lemaknya, adakalanya karena factor prioritas atau karena pengertian daging mencakup lemaknya juga atau melalui jalur qiyas (analogi) menurut suatu pendapat.
Diharamkan pula hewan yang disembelih bukan karena Allah, yaitu hewan yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Imam Qurthubi menyebutkan suatu riwayat dari Ibnu Attiyah, yang Ibnu At-Tiyyah pernah menukil dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah ditanya mengenai seorang wanita yang mengadakan pesta perkawinan buat bonekanya, lalu wanita menyembelih seokar unta untuk pesta tersebut. Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa daging unta tersebut tidak boleh dimakan karena disembelih untuk berhala.
        •               •    
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs.Al-Baqarah 173)
Ayat ini menegaskan sekaligus menentukan, bahwa yang diharamkan itu empat macam yaitu bangkai, daging babi, darah, dan binatang-binatang yang disembelih dengan mengucapakan perkataan selain nama Allah.
Maitah (bangkai) ialah hewan yang mati bukan karena sembelihan menurut syara’. Jadi baik matinya karena sendiri, mati tercekik, mati karena terjatuh, karena dipukul dan lain sebagainya, semua itu diharamkan. Ketentuan itu diambil dari hadits Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
“Telah dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai itu ialah belalang dan ikan, dan dua darah itu ialah limpa dan jantung.”Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Daruh Quthni, Hakim, dan Mardawaih. Juga hadits Jabir tentang ikan Anbar yang tersebut dalam Shahih Bukhari dan Muslim.
“Bangkai” itu akan dijauhi dan dibenci oleh jiwa yang baik, begitu juga dengan “darah”. Lebih-lebih ternyata setelah dilakukan penelitian, setelah berjalan waktu yang panjang dari pengharamannya oleh Al-Quran dan Taurat. Ternyata terkumpul mikroba dan materi-materi yang lain yang berbahaya dalam bangkai dan darah. Dan kita tidak mengetahui barangkali ilmu kedokteran modern telah dapat menyingkap lebih jauh tentang bahaya yang ditimbulkannya atau memang terdapat sebab-sebab lain diharamkannya kedua itu yang belum terungkap oleh manusia.
Sedangkan “babi” belakangan ini ada orang yang memperdebatkan keharamannya. Mereka berpendapat bahwa cacing pita yang amat berbahaya, yang menurut penelitian memang terdapat didalam daging babi, kini oleh kemajuan ilmiah telah dapat dihilangkan. Oleh sebab itu, babi tidak diharamkan. Demikianlah pendapat mereka. Tapi satu hal yang mereka lupakan, bukankah keharaman babi itu sudah berlangsung lebih dari 13 abad? Dan, bukankah baru saja ditemukan oleh penyelidikan ilmu pengetahuan modern kuman-kuman berbahaya yang terkandung di dalamnya? Dan bukan merupakan suatu hal yang mustahil kalau masih terkandung bahaya-bahaya lain yang belum ditemukan didalam babi. Maka sepatutnya kita memisahkan diri dari pendapat yang sesat dan kita beralih menuju kepada pendapat yang benar. Serta kita mengharamkan apa yang diharamkan dan menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.

PENUTUP
Kesimpulan
Dalam surat Al-Baqarah 172-173 dan ayat-ayat Al-Quran lainnya yang senada, terdapat prinsip hokum islam yang dilihatdalm kacamata normal dan hokum perkecualian apabila dalam keadaan yang genting. Hal-hal yang dilarang dalm keadaan normal mungkain dibolehkan dalam keadaan mendesak.semangat hokum yang mesti dilihat dalam dua kasus ini adalah makna ketaatan dan keteguhan pada batas-batas yang sudah ditentukan. Bagaimana pun juga, segala pelanggaran atas hokum tidak dibolehkan.


DAFTAR PUSTAKA
Al imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi. 2000. Tafsir Ibnu Kasir, Jilid 2. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Syeikh H. Abdul Halim Hasan. 2006. Tafsit Al-Ahkam. Jakarta: Prenada Media Group.
Syarjaya, H.E. Syibli. 2008. Tafsir Ayat-ayat Ahkam. Jakarta: rajawali Pers.
Quthb, Sayyid. 2001. Tafsir Fi Dhilalil Qur’an, jilid 2. Jakarta:Gema Insani,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar